Langsung ke konten utama

Betapa Aku Harus Bersyukur...


Bismillahirrahmanirrahim...

Malam ini untuk yang kesekian kalinya aku terisak di penghujung doaku. Menyadari betapa aku sangat dzalim terhadap diriku dan llingkungan sekelilingku.

Ku ingat-ingat apa yang selama ini aku lakukan terhadap adik kecilku, sungguh aku ini kakak yang tidak baik. Berulang kali aku membentak adikku karna ia terlalu rewel dan menyebalkan. Karna ia ingin selalu di kamarku, menghidupkan laptop dan mematikan sekenanya, menggunakan pulpen dan gunting tapi selalu tidak dikembalikan ke tempatnya, mengacak-acak isi handphoneku dan mengomentari setiap foto yang aku simpan, merengek minta diajak ikut ke rumah siswaku, menangis karena iri melihatku minum es sementara ia sedang tidak boleh minum es. Dan yang selalu membuat aku menahan emosi adalah ketika ia sedang ku ajari pelajaran untuk esok di sekolah, tapi ia tidak pernah mau menyimak pelajarannya, bahkan lebih memilih menonton serial televisi kesukaannya. Ah.. aku hanya menghela napas panjang dan mencoba sabar, tapi selalu tak berhasil. Karena ia pasti sukses membuat aku meledak sejadi-jadinya.


Bila ku ingat semua kejadian itu, aku selalu ingin menangis. Ya, dia hanya anak kecil yang ingin diperhatikan. Dia hanya anak kecil yang cukup teledor dan sangat ingin tau. Dia hanya ingin melakukan hal yang ia suka dan masih enggan mengkhawatirkan masa depannya. Bukankah aku dulu mungkin seperti itu?

Setiap malam, sebelum aku tidur, aku selalu mampir ke kamarnya. Memperhatikan ia dari balik kelambu, kadang berharap anak kecil itu belum terlelap sehingga aku masih bisa bermain dengannya. Setiap malam aku selalu menyesal atas kemarahanku. Atas ketidakmampuanku mengontrol emosi dan egoku. Aku selalu berharap masih ada hari esok agar aku bisa memperbaiki perlakuanku terhadap adikku.

Dulu sekali, aku berharap punya adik. Punya alasan untuk menyisakan uang saku dan membelikan oleh-oleh dari sekolah. Punya orang yang akan menungguku dan kegirangan ketika aku pulang. Punya orang yang bisa aku ajak bermain dan aku ganggu setiap harinya.

Kini? Aku sudah memiliki itu, tapi...

Setiap pagi, seharusnya aku bersyukur. Karena aku menyadari bahwa Allah masih dengan baik hatinya mengijinkan aku memperbaiki perlakuanku terhadap adikku. Pagi-pagi ku lihat adikku sedang menonton televisi sambil minum susu kesukaannya. Tapi aku hanya berlalu dan menjalani kesibukanku yang seolah tak akan pernah selesai. Kenapa aku selalu terlambat menyadari? Hingga waktu bergulir dan seketika pagi digantikan oleh sang malam.

Adikku tidak seperti adik lain, harusnya aku tau itu. Adikku memang suka menangis dan rewel di rumah. Tapi di luar rumah, ia pemalu dan pendiam. Ia tidak suka meminta sesuatu, kalaupun ada yang berniat menawarinya sesuatu, ia pasti menolak terlebih dulu. Adikku tidak pernah menjahati anak lain, tidak suka berlari-larian di jalan, tidak mencuri, tidak memukul anak lain. Adikku adalah orang pertama yang menanyakan keberadaanku. Daya tangkap adikku dalam pelajaran memang tidak sebaik aku dan kakakku, tapi menurutku ia pintar. Semua pintar dengan caranya sendiri. Adikku selalu mengimitasi perilakuku. Sayang, yang ia imitasi ini perilakunya seringkali tidak baik.

Dan aku masih tak bisa bersyukur.

Aku ingat dulu ketika teman-teman sekolahku menceritakan tentang keluarga besarnya yang hebat. Pamannya yang berpendidikan dan jadi polisi atau dokter. Sepupu-sepupunya yang sekolah tinggi dan jadi pegawai negri. Atau orang tuanya yang punya profesi yang sering kita temui di daftar cita-cita anak TK. Yayaya... dan aku si pecundang yang memilih diam. Apa yang harus aku banggakan dari keluargaku? Mereka tidak ada yang kerja di kantor. Mereka tidak ada yang punya profesi keren. Satu-satunya profesi dari keluarga besarku yang bisa aku banggakan adalah sepupu perempuanku yang pernah kerja di P*rtamina dan jadi guru di SD swasta yang cukup punya nama. Sisanya? Hilang dari ceritaku.

Tapi kini perlahan semua berubah. Sejak pikiranku mulai jernih, aku menyadari banyak yang hilang dari ceritaku dulu ketika ditanya tentang keluargaku. 

Kini aku akan bercerita, aku seorang anak gadis yang dibesarkan dari keluarga hebat. Ayahku sudah memasuki usai senja, ia memang tak sekuat ayah-ayah temanku, ia memang tidak punya relasi berdasi, ayahku memang tidak dikenal banyak orang, ayahku juga seorang perokok yang keras kepala. Tapi ayahku selalu banting tulang demi aku dan keluargaku. Mencukupi kebutuhan anak-anak gadisnya yang selalu tak pernah cukup, terutama aku yang ketika kuliah selalu membuat dahi ayah berkerut setiap bulan, karna aku selalu minta uang tanpa peduli betapa ayah sangat lelah. Ayahku adalah ayah yang hebat, ia memberikanku makan dan pakaian dengan uang yang dijamin kehalalannya. Bukan uang yang tak jelas darimana asalnya. Karna ayah tak pernah tega menyuapiku makan dengan hasil korupsi atau menipu.

Bagaimana dengan ibu? Ibu adalah wanita paling tegar yang aku tau. Ibu sangat sayang padaku. Ibu selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Ibu selalu mengabaikan kesehatannya demi melihat anaknya tumbuh dengan baik. Aku adalah anak yang paling membuat ibu khawatir. Aku sudah menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk menyembuhkan paru-paruku yang bermasalah. Baru-baru ini aku juga menghabiskan uang untuk mengobati keseimbangan tubuhku yang mulai terganggu. Ibu rela memendam keinginannya sekedar membeli kacamata baca agar ia tak lagi pusing mengaji, karna tulisan di Al Quran yang semakin samar di pengelihatan ibu. Ibu bahkan tak bisa lagi memasukkan benang ke dalam lubang jarum :’) Ibu rela memendam keinginannya memeriksakan diri di labarotorium di kota kami hanya untuk aku. Siapa aku? Hanya seorang anak yang lebih memilih istirahat dibandingkan harus berlelah-lelahan di rumah. Ibuku memang hanya ibu rumah tangga, dulu aku berpikiran bahwa menulis pekerjaan ibu di kolom raporku sungguh tidak keren. Namun kini aku teramat menyadari, bahwa pekerjaan ibu rumah tangga itu sangat keren! Tapi apapun itu, apapun pekerjaan ibu sebenarnya semuanya akan sangat keren.

Saudara-saudaraku yang lain pun sama. Kebanyakan dari mereka hilang dari ceritaku. Sepupu-sepupuku yang kebanyakan tidak melanjutkan sekolah tingginya. Sekali lagi, aku selalu terlambat menyadari betapa aku tidak bersyukur memiliki mereka. Kemarin ketika aku mengganti DPku dengan foto yudisium, aku ingat bahwa mas-ku mengirim chat mengucapkan selamat. Mas-ku hanya seorang lulusan SMK, aku tidak tau pekerjaan pasti yang saat ini ia tekuni, setauku mas-ku seringkali keluar kota untuk mengantarkan bosnya. Supir? Mungkin iya, tapi kadang sesampainya di kota, ada hal yang ia lakukan juga. Ah yang pasti itulah. Ucapan selamat yang ia sampaikan padaku, aku tau itu tulus darinya. Aku menyadari bahwa selama ini aku dan sepupu-ku jauh dari kata saling iri atau dengki. Tidak suka melihat keberhasilan saudaranya atau apalah itu. Sebaliknya, aku memiliki saudara yang selalu mendukungku, ikut bahagia melihat pencapaianku, dan saling mendoakan. Mereka memang tidak sekolah tinggi dan tidak pakai “seragam” ketika bekerja, tapi mereka punya hati yang baik, punya akhlak yang luar biasa. Itu lebih dari sekedar cukup.

Kemarin aku hampir terisak di jalan. Aku memang selalu sedih bila melihat keadaan pakdeku yang satu ini. Pakdeku seorang buruh, ia kerja berat. Sungguh tidak sebanding dengan tubuhnya yang mulai lelah. Pakdeku setahun yang lalu ditinggal pergi istrinya untuk selama-lamanya. Kini beliaulah yang mengurus ketiga anak-anaknya yang masih kecil. Hari itu aku pulang dari sekolah dan menjemput adikku. Sesampainya di persimpangan, aku berhenti sebentar untuk melihat kiri kanan, kemudian adikku mengatakan “mba, ini pakde” kalimat ini ia tujukan untuk segerombolan pekerja galian gorong-gorong yang sedang bekerja tepat di sampingku. Aku kira adikku berbohong, tapi kemudian aku memperhatikan laki-laki kurus bertopi yang sedang menghancurkan aspal. Ya Allah, ini benar pakdeku. Pakdeku mengenakan kaus yang tak lagi jelas warna asalnya dan aku? Aku mengenakan setelan necis khas seorang guru. Tapi sungguh aku malu. Aku mengenakan pakaian bagus seperti ini dan pakdeku? Ya Rabb, banyak sekali hal yang harus aku syukuri di dunia ini. Bersyukur tentang aku dan kehidupanku. Pakdeku ini seorang yang sangat hebat. Pakdeku tidak gila harta. Ia memang hidupnya sering kekurangan, tapi ia tidak lantas menghalalkan segala cara. Pakdeku apa adanya, ia tidak pernah menyakiti hati orang lain, ia tidak pernah mengeluhkan hidupnya, ia bekerja tanpa peduli berapa yang ia dapatkan. Aku bersyukur punya pakde seperti beliau ini.

Inilah sepenggal kisah keluargaku yang hebat. Hanya ingin sedikit berbagi, semoga bisa menginspirasi. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki. Apapun itu harus disyukuri.

Bagaimana tandanya kita bersyukur? Kita tak lagi mengeluhkan hidup kita, kita bahagia dengannya, kita bangga karenanya.
Sekian. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bersyukur

Hari ini aku mengajar. Menjelaskan dengan suara lantang dan tangan yang ku masukkan di saku. Oh ayolah. Jangan kaku begitu. Jangan kamu bilang aku sombong karena gesture ini. Tangan yang dimasukkan ke saku...memang seenak itu! Rasanya letih sekali kalau harus kamu kritik hal itu. Di sela mengajar, Anak anak kelas lain lewat sambil menoleh ke kelasku, bergantian memberikan senyum untukku, atau melambai padaku. Pun ketika aku berjalan di koridor, sapaan, tawa, malu malunya mereka, hal remeh yang ternyata menyenangkan untuk dirasakan :) Semoga semua perlakuan itu tulus dari hati. Dengan begitu, hatiku juga bisa nyaman menerimanya. :) Terima kasih ya Allah. Aku bersyukur.

Kapsul Waktu Part 1 (Teknologi)

Membicarakan masa lalu memang seseru itu. Anak anak kelahiran tahun 90an pasti sangat relate. Tapi tidak banyak yang bisa berlama-lama membicarakan masa lalu lagi saat ini, waktu semakin menghimpit, beban semakin berat di pundak, banyak pekerjaan yang mencapai tenggat. Padahal seandainya mau meluangkan waktu, aku yakin waktu yang dibutuhkan untuk mengupas masa lalu tak akan pernah sebentar. Mari kita bercakap-cakap masa lalu yang luar biasa itu disini saja, sebab kini kita sudah kehilangan banyak kesempatan. Kali ini temanya teknologi, tapi mungkin tidak runut ceritanya, aku minta maaf dulu :D Dan semoga ada kesempatan berikutnya untuk kita membicarakan tema lainnya. *** Aku punya sebuah kotak kardus kecil di lemari, isinya adalah beberapa kenangan di waktu sekolah dulu. Saat aku menyimpannya, aku tak punya maksud apa-apa selain terlalu sayang untuk membuang benda tersebut. Tapi kini aku bersyukur masih memiliki benda-benda itu, aku seperti sedang mengubur kapsul waktu. Benda-benda itu...

Menciptakan Keberanian

Tahapan dalam hidup kadang memang seunik itu. Dan sungguh hidup bukanlah sebuah perlombaan. Setiap manusia memiliki garis waktunya masing masing. Aku menemukan banyak sisi lain dari diriku di tiap garis usiaku, dan itu berbeda dari teman sebayaku. Misalnya aku hari ini, di usia 30 tahunku, aku banyak berani melakukan sesuatu yang dulunya aku merasa malu untuk melakukannya. Hari ini aku senam pramuka bersama teman kantorku, Sekadar informasi, aku dulu tidak suka senam. Karena malu melakukan gerakan senam di hadapan banyak pasang mata yang memandang. Tapi kini, aku suka senam (yang gerakan dan musiknya memang sopan ya). Aku bersemangat melakukannya. Setelah senam, aku merasa free untuk melakukan kegiatan lainnya, aku membawa tali keluar kantor. Ternyata banyak temanku tertarik dan ingin mencoba. Aku akhirnya bermain bersama sama. Aku suka memberanikan diri bermain tali dan mengakui ketidakmampuanku dalam bermain. Dan itu tak apa, kami bersenang senang! Setelah main tali, aku memainkan ru...

Win Some and Lose Some

"That's how it is. You win some you lose some. That's how the world works. I don't have any regrets at all" Suga BTS said after their concert. Sederhananya kurang lebih, untuk mendapatkan sesuatu kita harus siap kehilangan yang lain. Aku merenung sebentar. Maksudku, ku pikir aku yang tidak bisa mengatur waktuku disini. Atau...aku yang salah dalam melangkah. Nyatanya, ini semua hanyalah sebuah hukum alam yang sulit tertampik. Aku sering merasa bersalah meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, kemudian di kamar sepanjang malam dan baru keluar kalau lapar. Rasa rasanya, aku tidak mampu kalau harus sekadar bercengkrama selepas maghrib di ruang tivi. Karena kantuk dan penat yang sangat rindu kasur. Apalagi kalau harus bekerja lagi  di rumah, seperti memasak, menyapu dan sebagainya. Di kantor semua energiku terkuras habis, tidak hanya di badan, di pikiran juga, pun di hati juga. Jadi pulang ke rumah, aku hanya ingin mengistirahatkan semua dan kemb...

Nilai Oh Nilai~

Sedang mengerjakan erapor, rutinitas tiap akhir semester. Bagian paling berat adalah menuliskan nilai jujur ke anak anak. Sebenarnya bukan pelit nilai sih, tapi ya apa adanya aja ke anak, dan sebenarnya pun kalau harus apa adanya, nilainya gak akan sebagus itu hahaha Kayak 70 pun jauh kali, realnya gak sampe 70. Terus juga mikirin efek psikologisnya ke anak anak, kalau dikasih nilai segini, nanti gimana ya efeknya? Makin semangat atau gimana ya? Mikir juga, nilai ulangannya jujur atau curang ya? Gak bisa mentah-mentah ngambil nilai ulangannya, kudu ditelusuri juga kesehariannya gimana, aktif gak? Lengkap gak tugasnya? Sama guru lain gimana? Hehehe Jadi kalau ada yang bilang ibu pelit nilai, sini ku kasih lihat real-nya nilai, dan perhitungan matematis dan pertimbangan attitudenya juga. Maka  kamu akan tercengang dengan nilainya :P Dan fyi aja, nilai nilai itu sudah digodok dengan lama, dipikirin minimal tiga kali banget, kadang diubah karena kasihan, kadang diubah karena banyak hal...

Himdeureo

Jalan ini sulit, Apakah akan terasa mudah jika melaluinya bersamamu? Aku sekarang tidak mahir membuat tulisan panjang lebar lagi, mungkin karena aku tidak punya objek dalam tulisan ini. Tak ku tujukan pada siapapun, tak ku sematkan untuk siapapun. Tulisan tulisan tak bertuan. Miliki saja bila kau ingin. *** Aku ada disini. Dalam ratusan tulisan yang bisa kau baca tiap hari. Kau bisa mampir jika ingin. Kau bisa membacanya jika rindu. Seolah aku sedang bercakap di depanmu. Kau bisa membawaku dalam semua kegiatanmu. Saat kau menunggu antrian, saat kau sedang bosan, saat kau akan tidur. Aku selalu ada. Tapi bagiku, kau tidak ada dimanapun. Kau tidak bisa ku temukan dalam apapun. Kau tidak akan pernah hadir walau ku cari bertahun tahun. *** Aku membencimu, sebanyak aku ingin melupakanmu.

B E I N G G R A T E F U L

Aku begitu mencintai setiap fase hidupku. 30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.  Lahir sebagai bayi normal nan sehat. Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang. Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku. Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku. Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat. Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti. Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik. Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik. Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal. Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Dilindungi dengan cinta dan harapan. Direngkuh dengan kasih dan sayang.

Takdir

Ada yang mengejarku selama ini, aku menghindar. Entah apa yang salah, mungkin aku membenci caranya mendekatiku. Setiap perhatiannya memuakkan. Aku juga kebingungan dengan diriku ini. Ternyata memaksakan diri jatuh cinta memang tidak mudah. Mungkin begitulah aku di matamu? Seketika itu aku bercermin. Melihat pantulan diriku yang begitu hebat masih mengejarmu. Mungkin kamu sangat terganggu dan kebingungan menghindariku. Dasar aku, kamu, dan takdir ini.
Mau produktif menulis, tapi makin kesini makin membuncah rasa malasku, Hati yang khawatir, cemas berkepanjangan, tiba tiba datang menyerang, Aku ingin produktif, tapi terlalu malas

Surat Terbuka untuk Kelas XII 2018

Demi menulis apa yang sedang menyesaki kepala, sampai rela meninggalkan soal ulangan yang padahal dikejar deadline. Bismillahirrahmanirrahim... Jadi, malam ini, Nak. Postingan ini ditujukan untuk kalian anak-anak ibu yang lucu dan menggemaskan (pada akhirnya kalian menjadi lucu dan menggemaskan bagi ibu). To be honest , jarang sekali momen paska perpisahan itu baper ya, sampai-sampai tertuang di blog ini. Tapi mungkin dua tahun cukup lah sebagai pertimbangan kenapa kalian agak berkesan hingga akhirnya ibu rela menuliskan surat ini disini.