Bismillahirrahmanirrahim
Tulisanku kedua, yang pertama bisa baca disini.
Aku tidak tau kapan tulisan ini akan rampung ya.
***
Aku bertemu psikiater.
Rasa di dalam dadaku campur aduk. Takut, malu, sedih, dan emosi lain silih berganti.
Aku menceritakan apa yang ku alami pada dokternya, sambil menggegam erat buku jariku, sesekali aku menangis.
Dokternya merespkan obat, mengatakan padaku bahwa sakitku ini memang ada, namanya anxiety disorder atau gangguan kecemasan berlebih, dan bisa diobati.
Waktu pengobatannya enam bulan. Tapi sebenarnya waktu pengobatannya fleksibel, bisa lebih cepat, bisa juga lebih lama. Bahkan bisa tahunan.
Aku lemas dan gontai berjalan keluar ruangan.
Pukul 9 malam. Aku memesan taksi pulang lewat hp ibuku yang ternyata kehabisan paket data.
Setelah berjuang memesan taksi online dengan dramanya, kami tidak dapat apa-apa. Sudah malam, tidak ada taksi yang mau mengambil orderan. Hujan semakin lebat, ibuku panik.
Maka begitulah ketidaksengajaan yang membuat keluargaku yang lain tau, kami mau tidak mau menelpon minta dijemput oleh sepupuku, dia akhirnya tau bahwa aku baru saja dari dokter jiwa.
Keesokan harinya, budeku datang dan bertanya, "ada apa, sakit apa?"
Berita tentang sakitku tersebar. Qadarullah.
Tapi ternyata memang itu yang terbaik. Keluargaku jadi bisa maklum dengan kejadian ganjil yang ada padaku setelahnya.
Misalnya aku yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba bersandar di pundak ibuku sambil berderai air mata. Aku yang rebahan di sofa sambil minta maaf dan sesenggukkan. Aku yang meringkuk di kasur sambil menatap kosong dan lagi lagi keluar air mata.
Aku yang ke rumah budeku di jam sebelas siang dan semenit saja di sana untuk kemudian pulang lagi. Aku yang takut menonton berita. Aku yang tidak berani mendengar suara tv. Aku yang meremas tanganku dan berkeringat dingin. Aku yang takut lihat pisau dan benda tajam.
Hari demi hari seperti hujan deras yang gelap sekali.
Badai tergelap dalam hidupku.
Menit demi menit sangat menyiksa.
Tidak ada masa depan yang tergambar. Semua seperti malam yang pekat yang sangat pekat.
Aku tidak masuk kerja selama sepuluh hari. Obat dari dokter itu seperti obat tidur yang melumpuhkan semua kerja otak-ku. Aku tidak bisa sama sekali bangun dari tidur. Shalat yang ku jalani hanya sambil lalu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir apapun.
Aku tidak lagi melakukan hal hal yang ku suka, seperti menonton drama Korea, membaca buku, menulis blog, jalan-jalan, jajan, belanja. Aku tidak punya satu pun keinginan sama sekali.
Aku juga tidak berminat lagi makan nasi goreng, es krim, es kopi, makroni pedas, ayam goreng, bakso, sate, molen, dan sederet makanan kesukaanku, aku sangaaaat tidak punya selera makan.
Aku tidak punya mimpi, tidak menuliskan wish listku.
Kalau boleh aku menuliskan satu keinginanku kala itu, aku hanya ingin masuk surga yang jelas hanya bisa ditempuh dengan pintu kematian. Aku sangat ingin mati.
***
Bahkan setelah minum obat sepuluh hari itu, dan melanjutkan minum obat untuk hari-hari berikutnya, nyatanya aku hanya berhasil membawa diriku masuk kerja selama satu atau dua minggu setelahnya, dan tidak hadir hingga dua bulan lamanya.
Aku dan ibu menyerah mempertahankan pekerjaanku, kata ibu, yasudah tidak apa dek dipecat, rejeki bisa datang darimana saja. Sebuah kalimat pelipur lara sebab kami cukup tahu diri. Walau kalimat itu pun terasa ragu untuk diucapkan.
Ritme hidupku kala itu adalah, aku bangun pukul 4 subuh, shalat subuh, dan terus terjaga sepanjang hari.
Aku tidak lagi bisa tidur siang. Bayangkan! Aku yang begitu jatuh cinta pada tidur siang, aku yang bisa tertidur kapanpun dimanapun, menjelma menjadi sosok yang terus terjaga dan tidak bisa memejamkan mataku sebentar saja.
Aku tidak bisa lagi mencuci atau memasak. Bahkan kalau boleh tidak makan dan tidak mandi, mungkin aku juga tidak akan melakukan kegiatan itu.
Biasanya aku akan melamun, merenung, terpekur di pinggir kasur, menangis sampai pukul 7 pagi.
Aku bangun untuk makan pagi, tentu diawali dengan muntah-muntah dulu, baru aku bisa menelan satu sendok nasi. Nasi saja. Kadang aku campur sedikit air hangat biar mudah ditelan. Berat badanku turun drastis. Pipiku kian tirus, mataku cekung, badanku semakin ringan.
Setelah kegiatan makan yang terasa melelahkan, aku lantas mandi dan bersiap ikut ibu jaga warung.
Sepanjang pagi aku menemani tiduran (tiduran saja bukan tertidur) di warung di samping ibu, menonton drama cina lawas. Aku tidak protes sedikit pun. Aku hanya melamun. Aku tidak berminat main hp sama sekali.
Sebentar sebentar aku lihat hp hanya untuk melihat jam, sedetik kemudian ku lihat lagi. Begitu terus sepanjang waktu, aku terus mengecek saat ini jam berapa, aku terus menanti waktu isya. Kenapa isya? Karena setelah isya, aku bisa minum obat malam, dan tertidur sampai subuh. Hanya itu yang ku tunggu. Aku hanya hidup untuk menunggu keajaiban hari esok.
Ketakutan terbesarku saat itu adalah aku hampir kehilangan jiwaku sendiri, dalam artian gila.
Aku takut aku gila, aku takut aku kehilangan kesadaranku.
Pikiran yang berisik, mata yang terjaga, hati yang berat. Telapak tanganku selalu berkeringat dingin, telapak kaki juga. Hal itu ku alami setiap waktu. Aku terus merasa gugup dan gelisah tanpa sebab. Aku tidak bisa duduk lama, tidak bisa berdiri lama, dan tidak bisa tiduran lama.
Masa-masa itu aku warnai dengan selalu menangis dan meminta maaf pada ibuku.
Ibuku jelas kelelahan, kebingungan, dan ketakutan.
Ibu sampai menyarankan untuk pergi berobat ke Banjarmasin. Entah berobat apa. Kami juga sama sama bingung. Ide itu hanya ide asal saja.
***
Puncaknya di satu siang setelah shalat dzuhur di hari jumat, aku bilang ke ibu, "aku nangis dulu ya sebentar". Ibu hanya diam. Aku menangis sampai lama, terus selesai, aku menyuruh ibuku gantian shalat. Ibu masuk rumah, tapi tidak lama ibu kembali dengan berlinangan air mata.
Ternyata ibuku sangat sangat kelelahan sekali melihat keadaanku setiap harinya yang tidak kunjung membaik.
tbc ...
Comments
Post a Comment