Long weekend kemarin siswaku, ku beri tugas di rumah, agar liburannya "bermanfaat".
Aku minta mereka memanfaatkan Canva untuk membuat video, infografis, atau PPT.
Dan aku menemukan banyak hal yang membuatku sedih.
Seolah belum cukup disibukkan dengan akhlakless siswa, ke-absurd-an orang tua siswa, perlindungan hukum pada guru yang lemah, sistem pendidikan yang membingungkan, atau kurikulum yang terus-terusan berganti, kini para guru juga harus berkejar-kejaran dengan dampak buruk teknologi yang sedang mengintai siswa.
Maksudku, oh ayolah.
Anak-anakku di sekolah sangat malas membaca, bahkan aku baru menemukan fakta bahwa hampir sebagian besar buta peta, kini apakah aku harus menghabiskan sebagian waktuku di kelas untuk menceramahi mereka yang menggunakan AI untuk mengerjakan tugas power pointnya atau ulangan akhir semesternya?
Miris sih sebenarnya, tanpa bermaksud tidak ingin mengikuti perkembangan jaman. Ku rasa anak-anakku belum siap dengan semua teknologi ini. Entah belum siap atau mereka yang terlalu lamban?
Bagiku, teknologi ini jelas memudahkan, bukankah memang itu tujuan teknologi diciptakan? Seperti layaknya mesin? Hal itu diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia.
Tapi, anak-anakku yang malas membaca tadi, ku beri tugas membuat power point, agar mereka minimal membaca materi yang mereka buat, menulis ulang di tiap slide-nya, berseluncur mencari topik dan gambar di dunia maya, dan berkreasi dengan template PPT sesuai imajinasi mereka.
Sayangnya, anak-anakku justru memilih menggunakan AI untuk membuatkan satu buah tugas PPT mereka yang bahkan kadang di dalam PPT itu tidak ada nama mereka, yang artinya untuk mengetikkan namanya saja, mereka tidak lakukan.
Bayangkan! Menulis nama saja tidak, apalagi membaca isi PPT yang sudah dibuat?
Aku tidak sedang berprasangka buruk, sebab prasangka itu sendiri sudah ku sampaikan di kelas dan ku buktikan.
Pagi ini aku membuka slide demi slide yang mereka buat, ku tampilkan menggunakan proyektor agar seisi kelas bisa sama sama menyimak revisiannya.
Tiap PPT hasil karya anak anak ku tampilkan, tentu terlihat jelas mana buatan sendiri, mana buatan AI. Beberapa pujian ku lontarkan pada mereka yang tampak membuat PPT sendiri, walau ada satu dua kata yang typo. Aku tau mereka sudah berusaha membuat sebaik yang mereka bisa.
Tapi tidak untuk anak anak yang menggunakan AI.
Template PPT khas AI dengan bahasa penjelasan yang lumayan berat, ku tanya saja arti dari salah satu kata yang ada di PPT itu pada si anak, "Nak, ini apa artinya?"
Tidak perlu waktu lama untuk mengamati wajah bingung nan bengongnya, dia segera menggelengkan kepala.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata.
Bukan marah, tapi sedih.
Teknologi yang mestinya bisa membantu mereka, justru semakin membuat mereka nyaman dalam kemalasannya, dan tidak ada niat untuk melatih diri mereka sendiri.
Skill yang mestinya bisa diperoleh dari mengerjakan tugas PPT tadi, hilang!
Mereka menghilangkan proses berpikir, berkreasi, dan kerja keras, yang mestinya bisa mereka dapatkan.
Untukku, yang bisa membuat PPT, menggunakan AI tentu akan mempersingkat waktu.
Tapi bagi anak anak yang belum terbiasa atau bahkan tidak pernah membuat PPT, penggunaan AI hanya akan menghambat proses belajar mereka.
Mau sampai kapan mereka ketergantungan teknologi?
Bahkan membuka 'This PC' di komputernya saja mereka tidak tau. Bukankah itu komputer mereka sendiri? :(
Benda yang kita sebut sebagai flashdisk pun mereka bingung, proses memindah data, menemukan file yang baru saja di download, atau serangkaian operasi sederhana di komputernya saja masih gagap.
Ya, setidaknya aku bersyukur mereka masih bisa mematikan komputernya. Fiuh.
Semoga kalian mengerti kebingunganku ini.
Aku bukan tidak suka anak anak menggunakan AI, aku menyayangkan mereka yang justru sedang digunakan AI, tanpa mereka sadari.
***
Aku takut anak anak semakin terbawa arus teknologi, mereka yang bisa berenang mungkin menganggap hal ini sangat menyenangkan, tapi mereka yang tidak bisa berenang jelas akan tenggelam.
Siapa yang akan peduli pada anak anak ini?
Aku pun sedang belajar berenang.
Komentar
Posting Komentar