Selamat berpisah, Tuan
Terima kasih karena menyempatkan singgah ke pelukan gadis malang sepertiku,
Terima kasih untuk antusiasmu yang hanya sebentar,
Terima kasih telah membawakan aku sebongkah harapan yang merekah,
Terima kasih sebab menjadi mimpi baikku sampai sekarang.
Kamu benar Tuan, kurasa ini karmaku,
Karena telah menyia-nyiakanmu,
Karena berbohong padamu dan pada perasaanku,
Aku sedikit menyesal, Tuan.
Mestinya aku mengaku.
Tapi apakah itu akan mengubah hari ini?
Apakah dengan kejujuranku, kamu tidak akan pergi?
Aku meraba-raba, kenangan kita di masa lampau,
Kamu hadir di saat aku sangat terjebak dalam kubangan gelap pikiranku,
Kamu menawarkan cinta tulus nan sederhana.
Lantas, semudah itu perasaanmu berubah Tuan
Apakah tak ada sedikit pun rasa yang tertinggal?
Aku memang gadis bodoh.
Benar aku bagus dalam pelajaran,
Tapi sangat bodoh dalam perasaan,
Aku ingin membencimu Tuan,
Tapi hatiku berontak,
Penat.
Selamat berpisah, Tuan
Aku mengikhlaskanmu.
Aku tak apa. Sudah biasa.
Hanya masih berdarah-darah di cinta yang sama.
Aku salut pada mereka yang berani,
Mendobrak idealisme kacangan,
Merobohkan tembok penghalang yang tak nampak ujungnya,
Aku kagum pada mereka, Tuan.
Sedangkan aku disini bersembunyi, bak pengecut dan pecundang.
Tapi, Tuan.
Bukankah kamu juga bersalah?
Dalam gemuruh keraguan, mestinya kamu datang mendekap dan meraih genggamanku,
Mengatakan, semua kan baik baik saja,
Dalam riuh tanda tanya, harusnya kamu ada, tetap mencintaiku dengan sederhana,
Bahkan dalam heningnya hatiku, kamu bisa menenangkanku, menyiramiku dengan keberanianmu.
Tapi kamu juga pengecut, seperti aku.
Yang membiarkan prasangkamu menggunung,
Yang pradugamu mengambil alih isi kepalamu,
Memilih pergi dan berlari meninggalkanku.
Kamu juga pengecut, tidak hanya aku.
Bukankah kejujuran ini menampar harga dirimu?
Komentar
Posting Komentar