Bismillahirrahmanirrahim...
Aku akan memberanikan untuk membuka sebuah luka dalam hidupku.
Ini tentang sesuatu yang menimpaku setahun yang lalu. Jika ada dari kalian yang merasa tidak nyaman dengan tulisan ini, bisa skip saat ini juga.
Tulisan ini entah akan jadi berapa bagian. Saking panjang dan lamanya.
***
Kalian mungkin pernah mampir ke tulisanku di bulan maret 2023, judulnya NKTCTHI (Nanti Kita Tidak Cerita Tentang Hari Ini) yang juga ada part 2-nya.
Aku kekeuh selama itu tidak ingin membuka luka ini di blog-ku, karena aku masih beranggapan ini adalah sebuah aib. Tapi waktu berlalu, banyak pengalaman yang ku dapat, banyak artikel dan cerita orang lain bersliweran, yang membuat aku mengerti bahwa ini bukanlah aib, dan tak apa kalau kita terbuka membicarakan ini.
Luka ini seperti luka luka lain yang normal untuk dimiliki dan bisa sembuh. Luka ini bisa terjadi pada siapa saja. Luka ini pun bukanlah dosa, jadi tak apa.
Tujuan aku menceritakan luka ini adalah aku sangat berharap orang-orang yang saat ini sedang menderita atau ada orang terdekatnya yang mengalami ini, bisa lebih aware dan bisa mendapat banyak insight dari pengalamanku. Seperti Marshanda dan Aliando yang bisa berdaya kembali dan tak malu membagikan lukanya pada dunia.
Let's begin :)
***
Desember 2022, natal malam hari. Aku merasa sekujur tubuhku gemetar hebat, keringat dingin, badanku aneh, detak jantungku berdegup kencang sekali, napasku juga sesak. Aku kenapa?
Itu terjadi setelah aku membaca komentar di salah satu video YT story telling kasus kriminal. Aku takut sekali. Tiba tiba aku merasa tubuh dan pikiran ini bukan milikku. Kejadian ini kemudian dikenal sebagai trigger atau pemicu.
Aku mendapati diriku yang tak lebih baik di pagi harinya, aku tau, sepertinya aku perlu pertolongan.
Aku shalat dengan lebih khusyuk, berdoa dengan lebih giat. Tapi belum ada perubahan yang ku 'rasa'.
Aku pergi kerumah temanku, mengerjakan sesuatu, sambil bertanya malu-malu perihal yang ku alami, beliau menyarankan aku untuk ke psikolog. Tapi menemui psikolog adalah langkah yang terlalu berani.
Aku kemudian duduk ke kafe dengan temanku, menceritakan tentang diriku. Walau berjam-jam ku jabarkan apa isi di kepalaku, ternyata tidak ada secercah ketenangan yang ku 'rasa'.
Biasanya saat aku sedih, suntuk, duduk manis untuk deep talk dengan teman baik benar-benar melegakan. Tapi ini tidak, sungguh keadaan yang aneh.
Lalu temanku memberikan sebuah solusi "gimana kalau ruqyah?" katanya, aku langsung berdiri mengiyakan. Kenapa tidak kepikiran ya?
Pergilah kami kesana kemari mencari peruqyah yang ada di kota kecil ini. Keluar masuk gang sambil berpanas-panasan. Hingga akhirnya kami ketemu, tapi tidak membuahkan hasil yang berarti, karena dari diriku saja sudah kelelahan saat itu.
Fyi, ruqyah syyariah itu seperti konseling ke psikolog, tapi bedanya ini konseling ke ustadz dengan medianya Al Quran. Tidak melulu kasus kesurupan saja. Semoga ini bisa meluruskan kesalahpahaman orang awam yang takut di-ruqyah.
Singkat cerita keesokan harinya aku kembali lagi ke tempat ruqyah itu, dan bahkan beberapa minggu setelahnya, ternyata ruqyah saat itu juga 'tidak terlalu membantu' bagiku.
Di awal awal aku terluka ini, aku masih berjuang sendirian tanpa sepengetahuan orang tuaku.
***
Awal januari aku harus bersiap masuk kantor.
Sejak aku mulai merasa ada yang aneh dalam diriku, aku takut tidur sendiri, aku selalu tidur dengan ibuku. Ibuku jelas merasa risih, tapi aku hanya mengatakan aku perlu suasana baru saja.
Aku pergi bekerja dengan hati yang tidak karuan dan pikiran yang berisik.
Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku, aku bisa makan, aku bisa tidur siang, aku bisa bersosialisasi, aku bahkan bisa menjenguk temanku yang sakit, aku juga bisa tidur malam dengan baik.
Tapi, ada yang sangat mengganggu diriku, hatiku terasa berat dan sesak, kepalaku serasa mau pecah, aku ingin sekali berteriak yang nyaring.
Di tempat kerja, aku pergi ke mushola dan meminta waktu pada temanku untuk aku bercerita, dan aku bersyukur dia menyanggupi.
Menangislah aku, aku menceritakan apa yang ku rasakan. Beberapa kali ia bertanya apakah aku bisa tidur? Ku jawab bisa. Temanku tampak lega, tapi tidak dengan cerita dan lukaku yang seakan belum bertemu sang lega-nya.
***
Hampir tiga minggu.
Karena aku mulai tidak mampu menanggung beban ini, aku memberanikan diri menangis di samping ibuku. Menangis saja, yang lama, dan tidak mau memberikan penjelasan apapun atas semua tangisan yang tumpah itu. Aku ingat kejadian itu kamis malam.
Besoknya aku pergi bekerja dengan mata sembap. Memakai kaca mata tidak cukup mengaburkan keadaanku.
Pulang dari kantor aku menemui temanku yang lain, untuk mencari solusi atas apa yang terjadi padaku.
Aku menangis (lagi) saat bercerita yang membuat temanku bingung. Karena tangisannya saja sudah aneh, tangis ketakutan, takut pada sesuatu yang ada di imajinasiku saja.
Hari demi hari akhirnya aku mulai berani membuka keadaan diriku pada orang di sekitarku.
Pada bapak ibuku, pada teman-teman dekatku, bahkan tanpa sengaja pada keluargaku yang lain.
Ibu mulai mengajak aku bertemu dengan teman-temannya yang lebih berpengalaman dan lebih berilmu.
Semua memberikan saran ini itu, tapi lagi lagi sang lega masih enggan menyapa.
Ibu juga mencoba menghiburku dengan mengajakku pergi naik motor keliling kota di sore hari.
Beberapa sore kami lalui seperti itu.
Dan aku jelas menyadari, bahwa sejauh apapun aku pergi, kemanapun aku pergi, sekeras apapun aku berlari, yang terluka hatinya, yang kosong jiwanya. Maka perjalanan ini terasa sia sia.
Kemanapun ragaku berada. Luka batin itu masih menganga, hatiku masih penuh sesak.
Setiap jamnya aku menangis. Entah kenapa rasanya sakit sekali hati dan pikiranku. Di depan ibuku, di depan teman teman dekatku, aku terus menangis, aku bahkan tidak peduli tempat, aku menangis di jalan, di kantor, di rumah, di klinik, dan dimana saja. Setiap hari ku lalui seperti itu.
Buntu.
Akhirnya di awal februari, sebelum tidur malam, ibu bilang di sampingku, bagaimana kalau kita ke psikiater?
Aku termangu dan bertanya, apakah ini sangat serius hingga kita perlu ke psikiater?
Ya nggak papa kita coba aja. Kan nggak salah?
tbc ...
Comments
Post a Comment