Assalamu’alaikum :*
Hehe.. malam hari ini saya akan bercerita
sedikit mengenai kebodohan saya yang tertipu mentah-mentah dini hari tadi.
Sebenarnya ini cukup memalukan, yah semacam menunjukkan kalau saya mudah
tertipu dan polos. Tapi semoga dengan cerita ini, Anda jadi was-was dan tidak
akan jatuh ke lubang yang sama seperti saya. Ok here
we go
Jadi dini hari tadi saya terbangun dalam
keadaan kaget dan masih kehilangan 8 nyawa saya. Lantaran kaget, saya refleks bangun langsung duduk, ini nih
kebiasaan buruk saya, saya kalau bangun dalam keadaan kaget, refleksnya bisa
luar biasa. Saya pernah terbangun dalam keadaan langsung berdiri, dan itulah
mengapa keseimbangan tubuh saya akhir-akhir ini jadi terganggu.
Oke, singkat cerita saya masih dalam keadaan bingung dan mencari tau kenapa saya terbangun. Kemudian saya mendengar lagu Taylor Swift yang dipakai jadi jingle iklannya Conello, ini apa ya? alarm? Seriusan, mungkin karena terbangun begitu saja, saya bahkan tidak bisa membedakan ini bunyi alarm, telepon atau apa.
Oke, singkat cerita saya masih dalam keadaan bingung dan mencari tau kenapa saya terbangun. Kemudian saya mendengar lagu Taylor Swift yang dipakai jadi jingle iklannya Conello, ini apa ya? alarm? Seriusan, mungkin karena terbangun begitu saja, saya bahkan tidak bisa membedakan ini bunyi alarm, telepon atau apa.
Saya melihat layar handphone saya
berkedip-kedip beberapa saat dan menyadari ada panggilan masuk. Siapa sih
tengah malam gini? Saya melirik ke jam dan mendapati ini jam 2 pagi. Saya
mengabaikan saja panggilan masuk itu, kalau penting nanti pasti nelpon lagi,
pikir saya. Dan ternyata panggilan yang sama menelpon untuk kedua kalinya.
Mungkin penting, jadi saya angkat panggilan itu.
Sejak kejadian perampokan yang menimpa tetangga saya beberapa tahun silam, saya sudah bertekad untuk berhenti mengabaikan telepon masuk di tengah malam begini. Maka saya angkat tanpa mengucap sepatah kata pun.
Oh iya, sekedar tips terutama untuk perempuan, sebaiknya kalau ada nomor yang tidak dikenal memanggil, jangan ngomong duluan, biarkan si penelpon yang membuka percakapan duluan. Saya diam beberapa saat dan akhirnya si penelpon say “halo”
Sejak kejadian perampokan yang menimpa tetangga saya beberapa tahun silam, saya sudah bertekad untuk berhenti mengabaikan telepon masuk di tengah malam begini. Maka saya angkat tanpa mengucap sepatah kata pun.
Oh iya, sekedar tips terutama untuk perempuan, sebaiknya kalau ada nomor yang tidak dikenal memanggil, jangan ngomong duluan, biarkan si penelpon yang membuka percakapan duluan. Saya diam beberapa saat dan akhirnya si penelpon say “halo”
“Iya ini siapa?” suara serak khas orang bangun
tidur meluncur begitu saja dari saya
“Aku ditangkap polisi..” suara laki-laki
diujung telepon tampak memilukan
“hah?” tolong membaca ini pakai intonasi ala
orang yang tidak jelas mendengar suara di seberang sana, bukan intonasi kaget
ya.
“Aku ditangkap polisi...” ulangnya sambil
sesenggukkan
Oh well, ini siapa sih, erang saya dalam
hati. “Ini siapa?”
“aku ditangkap polisi” dia mengulang lagi
“ini Anggi kah?” saya bertanya, dan inilah
kesalahan bodoh pertama yang saya lakukan. Tapi serius, ini mirip sekali dengan
saudara adik sepupu laki-laki saya, Anggi. Lain kali buat Anda semua, ngotot
saja tanya ini siapa, diinterogasi dulu si penelpon sampai Anda yakin Anda
mengenalnya. Anda juga bisa menanyakan bagaimana panggilannya untuk Anda, untuk
menunjukkan hubungan kekerabatan kalian. Atau tanyakan saja
pertanyaan-pertanyaan sulit, misalnya hobi Anda, siapa gebetan Anda atau apalah
itu, pastikan dia menjawab dengan benar. Kalau dia tidak jawab dan malah
sesenggukan saja, matikan saja, mungkin si penelpon memang hobinya sesenggukan.
“iya.... aku ditangkap polisi” sahutnya
“Kenapa, Nggi?” saya mulai cemas. Ini kesalahan
kedua. Sebenarnya cemasnya saya beralasan, Anggi memang kerap keluar malam
lantaran dia mengambil kuliah malam, sehingga Anggi masih mungkin ditemukan
kelayapan di jalan pada dini hari. Terlebih minggu ini Anggi ditinggal abang
dan ibunya ke luar kota, dan ayahnya agak sedikit galak, saya rasa ini cukup
masuk akal kalau dia kenapa-kenapa dan dia harus menghubungi saya.
Si penelpon yang tak jelas diujung sana terus
mengulang kalimat yang sama. Kemudian saya merasa telepon berpindah tangan dan
terdengarlah suara berat seorang laki-laki khas polisi. “Selamat pagi bu maaf
mengganggu waktu istirahatnya” si suara berat membuka percakapan.
“Iya selamat pagi” Pagi? Ini kan tengah
malam?!, kemudian saya menyadari kalau dia benar, ini jam 2 pagi.
“Ini maaf, saya berbicara dengan ibu siapa?”
“Mukti” sahut saya dengan suara yang seriusan
tidak jelas, maklum suara bangun tidur dan belum dilumasi air sedikitpun.
“Siapa?” tanyanya lagi.
“Mukti” masih dengan suara yang sama seraknya.
Saya tidak peduli apakah si polisi ini bisa tau nama saya dengan baik atau
tidak. Karena seumur hidup saya, sebagian orang yang menanyakan nama saya
secara langsung, perlu beberapa menit untuk dapat mengeja nama saya dengan
baik, kecuali saya yang memperlihatkan bagaimana tulisan nama saya.
Satu waktu nama saya bisa menjadi ‘Muti’, di waktu yang lain bisa menjadi ‘Mukhti’, ‘Mutia’. ‘Mukri’ atau sejenisnya. Jadi daripada membuang waktu, saya iyakan saja tebakan nama dari si polisi tadi.
Satu waktu nama saya bisa menjadi ‘Muti’, di waktu yang lain bisa menjadi ‘Mukhti’, ‘Mutia’. ‘Mukri’ atau sejenisnya. Jadi daripada membuang waktu, saya iyakan saja tebakan nama dari si polisi tadi.
“Anggi ini siapa ibu?”
“Sepupu” saya menjawab, saya rasa lidah saya
mulai kaku, ini seriusan? Nah ini kesalahan ketiga, membiarkan orang lain
mengorek keterangan dari Anda.
“Baik, jadi Anggi ini kami tangkap dalam razia
kami ya Bu ya, nah ketika kami periksa surat kendaraannya lengkap-lengkap saja,
tapi Anggi dan temannya tampak pucat ...”
Oh ayolah Nggi, kenapa harus pucat! Kamu lapar? Nggak makan sebulan apa gimana?
“... lantaran curiga jadi kami periksa Anggi
dan temannya, dan di saku celananya kedapatan sejenis psikotropika. Ibu tau
psikotropika itu apa?” tanyanya
“ya tau” saya menjawab singkat. Anggi apa-apaan
ini? Rutuk saya dalam hati.
“Apa itu Bu?” dia terdengar seperti seorang pembawa
acara kuis yang luar biasa handal.
“narkotika?” untung saya sering nonton di televisi.
“Ya betul” dia membenarkan. Yes! seratus juta rupiah!!! “...Ibu
ini umurnya berapa?”
“22” ah belum sih, nanti desember baru 22, tapi daripada ribet.
“Kalau Anggi?”
Saya berpikir sejenak “20?” 2 tahun dibawah
saya, tapi terdengar sedikit tidak yakin.
“Anggi ini nama lengkapnya siapa ibu?”
“Anggika Nuari” saya menjawab, kala itu saya
berpikir dia hanya ingin memastikan bahwa Anggi tidak sedang berbohong
memberikan nomor saya padanya. Maka saya yang nyawanya mungkin baru terkumpul
dua biji, tanpa ragu-ragu menjawab benar semua pertanyaan si suara berat.
“Pekerjaan Anggi?” tanyanya lagi
“Kuliah di UNDA (Universitas Darwan Ali)”
Suara disana tampak ingin menanyakan sesuatu,
tapi tidak jadi, kemudian dia bertanya “Kendaraannya warna apa ibu?”
“Hitam”
“Jenisnya bagaimana ibu?”
“Mmm..sejenis motor besar” saya tidak ingin dia
menyangka ini Harley Davidson!
“Baik, seperti Vixion ya?”
“Iya” memang merknya apa ya? Lupa. Oh wow, saya
bisa menjawab beberapa hal tentang Anggi! Lihat betapa saya menjelma menjadi
kaka yang cukup care.
“Baik ibu, jadi Ibu tidak tau kalau Anggi ini
menggunakan psikotropika?”
“iya”
“Ibu berani bersumpah?”
Oh ayolah, harus sumpah segala? “iya” saya mengiyakan sumpahnya.
“Baik
Bu, jadi...” dia menjelaskan mengenai temuannya yang dapat membahayakan masa
depan Anggi, dia mengaku bahwa kasus ini belum sampai terdengar ke atasannya,
sehingga sebaiknya diselesaikan di jalan.
Sambil si suara berat itu menjelaskan panjang
lebar, saya mulai membayangkan Anggi yang tengah meringkuk ketakutan dan gugup,
ah I know how you feel bro (pengalaman
diinterogasi gara-gara kena tilang),
kemudian membayangkan betapa kalau ayahnya tau, Anggi pasti akan dimarahi
habis-habisan atau bahkan ditendang ke jalan.
Si suara berat meminta hanya saya saja yang tau
masalah ini, bahkan orang tua saya juga jangan sampai tau, dia beralasan agar
keluarga tidak panik. Oke, masuk akal juga alasannya.
Tapi, ketika percakapan itu berlangsung, saya
tidak sejernih ketika menuliskan kembali kronologi ini. Saat itu saya merasakan
tangan saya dingin dan saya gugup setengah mati, saya kasihan dengan Anggi dan
saya berharap ini cuma mimpi.
Akhirnya, si suara berat mengatakan “jadi
temannya Anggi sudah menelpon orang tuanya dan orang tuanya setuju memberikan
jaminan 2,5 juta...” cukup banyak juga tuh, pikir saya
“... nah ibu bisa memberikan jaminan berapa untuk Anggi? Yah sepantasnya lah”
Jaminan? Ah jadi konklusinya uang?
Saya mengingat-ingat berapa uang dalam celengan paus ungu saya ya, rasanya saya sudah menghabiskan gaji saya untuk memenuhi keperluan saya belakangan ini (maklum, guru baru, uangnya habis buat bikin seragam), 500ribu? Ah ini sih kebanyakan untuk sekedar jaminan, 200 saja pasti sudah cukup. Hehehe
“500ribu?” tanya saya ragu.
“... nah ibu bisa memberikan jaminan berapa untuk Anggi? Yah sepantasnya lah”
Jaminan? Ah jadi konklusinya uang?
Saya mengingat-ingat berapa uang dalam celengan paus ungu saya ya, rasanya saya sudah menghabiskan gaji saya untuk memenuhi keperluan saya belakangan ini (maklum, guru baru, uangnya habis buat bikin seragam), 500ribu? Ah ini sih kebanyakan untuk sekedar jaminan, 200 saja pasti sudah cukup. Hehehe
“500ribu?” tanya saya ragu.
Si suara berat terdengar kecewa, “500ribu, Bu?”
“iya” habis membebaskan Anggi, pokoknya minta
ganti rugi sama Anggi!
“Wah gimana ya Bu, saya ini ...” dia menjelaskan bahwa uang itu terlalu sedikit
untuk dibagi-bagikan padanya dan beberapa personil lain.
“Iya 500ribu” saya tak kalah ngototnya, ngapain
mahal-mahal nebus si Anggi?
“Itu tunai atau nontunai Bu?”
“Tunai” saya bisa langsung kasihkan ke
polisinya kan? Terus membawa Anggi pulang.
“Tunai Bu?”
“IYA” ini nanya mulu, kurang jelas ya -_-
“Ibu tidak punya ATM?”
Punya sih, tapi isinya sudah habis... semenjak
saya mulai tinggal di Sampit lagi, saya malas mengurus semua akun Bank saya,
mendingan nabung di celengan paus, aman tanpa potongan, “Ngga punya”
sahut saya kalem
Dia terdengar putus asa dan menyerah “Jadi
bagaimana Ibu mau memberikan uangnya?”
Entah, pikir saja sendiri. Saya diam dan mulai
mengantuk.
“Jadi begini saja Bu, Ibu mengirimnya uangnya
dalam bentuk biaya untuk alat komunikasi saja, tolong Ibu catat nomornya ya”
Dengan enggan saya mengambil pensil dan kertas,
“iya” sahut saya kesal.
Saya rasa nyawa saya sudah hampir lengkap ketika itu. Saya mulai kesal dengan si penelpon yang semakin terdengar menyebalkan saja. Dia pun menyebutkan 3 buah nomor handphone dan meminta saya mengisikan pulsa ke 3 nomor tersebut dengan nominal 200ribu, 200ribu, dan 100ribu. Oke, saya menyanggupi akan mengisinya besok pagi. Dia mulai keberatan dan mengatakan harus segera. Apa-apaan ini?
Saya rasa nyawa saya sudah hampir lengkap ketika itu. Saya mulai kesal dengan si penelpon yang semakin terdengar menyebalkan saja. Dia pun menyebutkan 3 buah nomor handphone dan meminta saya mengisikan pulsa ke 3 nomor tersebut dengan nominal 200ribu, 200ribu, dan 100ribu. Oke, saya menyanggupi akan mengisinya besok pagi. Dia mulai keberatan dan mengatakan harus segera. Apa-apaan ini?
“Pak, jam segini counter tutup” saya mulai kehilangan kesabaran
“ya kan bisa diisi di Alfamart atau Indomart?”
Saya meminta bicara dengan Anggi dan dia
mengatakan tidak bisa, Anggi sedang diinterogasi. Pokoknya saya ngotot kala itu
dan dia akhirnya mengalah memberikannya ke Anggi.
Entah kenapa, saya masih mengira ini Anggi,
suaranya mirip sekali. “Anggi ini seriusan kah? Nggi?” saya berusaha meminta
penjelasan ke Anggi. “iya isikan aja” suaranya terdengar memilukan (lagi). Kemudian
saya ragu kalau ini Anggi. Saya matikan handphonenya,
saya diam sejenak, ada perasaan lega ketika menutup telepon itu. Saya mulai
merasa dehidrasi, ingat betapa saya sejak 2 jam yang lalu ngerumpi nonstop. Jadi saya meneguk minuman beberapa gelas. Ada
panggilan lagi, haus, pikir saya. Kerongkongan gue lebih penting.
Saya angkat lagi, “iya!”
“kenapa dimatikan Bu?” haus, jawab saya dalam
hati.
Dia memaksa saya segera mengisikan dia pulsa tersebut. Saya sekali lagi bilang, ”insya Allah pak besok pagi” dia memaksa dengan menyarankan sebaiknya saya segera mengisinya, entah itu di Alfamart atau Indomart. Saya awalnya mengira polisi ini salah bicara ketika dia menyebutkan dua supermarket itu, hei sejak kapan di Sampit ada? Tapi dia mengulangi dua kali, meminta saya mengisi di Alfamart atau Indomaret.
Fix! ini tidak benar. Kemudian saya mengumpulkan segenap keberanian saya “Pak dengar, disini tidak ada Alfamart atau Indomaret!”
Dia memaksa saya segera mengisikan dia pulsa tersebut. Saya sekali lagi bilang, ”insya Allah pak besok pagi” dia memaksa dengan menyarankan sebaiknya saya segera mengisinya, entah itu di Alfamart atau Indomart. Saya awalnya mengira polisi ini salah bicara ketika dia menyebutkan dua supermarket itu, hei sejak kapan di Sampit ada? Tapi dia mengulangi dua kali, meminta saya mengisi di Alfamart atau Indomaret.
Fix! ini tidak benar. Kemudian saya mengumpulkan segenap keberanian saya “Pak dengar, disini tidak ada Alfamart atau Indomaret!”
Dia kebingungan di ujung sana dan menyarankan
saya coba mengisi di pom bensin, mau melangsir minyak kali ke pom bensin?, saya
mulai kesal dan sepenuhnya berpikir jernih (mungkin faktor sudah minum) “pak,
saya ini perempuan, dan saya tidak akan keluar rumah tengah malam begini (maksudnya
pagi, saya mengoreksi dalam hati). Ini
tidak aman, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada saya?”
Dia tidak kehabisan ide, dia katakan berapa
nomor plat saya dan dia akan meminta personilnya mengawasi saya. What the he*k, memang tau rumah gue
dimana?
“Pak apapun itu, saya tetap tidak akan keluar rumah tanpa ijin orang tua saya” saya menekankan dengan nada tinggi.
Saya masih khawatir dengan si Anggi, saya berpikiran kalau tadi itu Anggi, dan polisi ini yang tidak benar. Saya masih belum terpikir bahwa tadi itu bukan Anggi!.
“Pak apapun itu, saya tetap tidak akan keluar rumah tanpa ijin orang tua saya” saya menekankan dengan nada tinggi.
Saya masih khawatir dengan si Anggi, saya berpikiran kalau tadi itu Anggi, dan polisi ini yang tidak benar. Saya masih belum terpikir bahwa tadi itu bukan Anggi!.
Akhirnya dia menyerah dan mengatakan sebaiknya
besok pagi bertemu langsung dengan saya. Oke siapa takut. Setelah berdebat
masalah jam, kami menyetujui jam 6 pagi. Saya berpikir, kalau sampai Anggi
masih susah dihubungi, saya akan kerumahnya jam setengah 6 untuk memastikan
Anggi ada di rumahnya. Jadi selama saya ditelpon saya terus-terusan menghubungi
Anggi melalui BBM dan belum ada balasan sama sekali.
“Jadi jam 6 ya, Bu”,
“iya insya Allah ya” saya menjawab mantap
“wah jangan iya iya tidak tidak, Bu. Jangan tidak yakin” ia mulai meragukan istilah ‘insya Allah’ saya. Nah ini yang harus diluruskan. Jadi selama ini sebagian masyarakat Indonesia menodai makna sebenarnya dari Insya Allah. Makna versi salahnya adalah ‘insya Allah’ diartikan sebagai ‘tidak’ secara halus.
“Pak, insya Allah itu 99,999% iya!” saya menjawab lagi.
Dia terdengar cengengesan dan mengiyakan saya. Kemudian dia mengakhiri dengan mengucap assalamu’alaikum, wah wah islami sekali.
“Jadi jam 6 ya, Bu”,
“iya insya Allah ya” saya menjawab mantap
“wah jangan iya iya tidak tidak, Bu. Jangan tidak yakin” ia mulai meragukan istilah ‘insya Allah’ saya. Nah ini yang harus diluruskan. Jadi selama ini sebagian masyarakat Indonesia menodai makna sebenarnya dari Insya Allah. Makna versi salahnya adalah ‘insya Allah’ diartikan sebagai ‘tidak’ secara halus.
“Pak, insya Allah itu 99,999% iya!” saya menjawab lagi.
Dia terdengar cengengesan dan mengiyakan saya. Kemudian dia mengakhiri dengan mengucap assalamu’alaikum, wah wah islami sekali.
Saya mulai tiduran dan berusaha menghubungkan
semua potongan-potongan keanehan dari panggilan barusan. Saya mulai menyadari
betapa sebenarnya si penelpon tidak tau sama sekali tentang saya atau Anggi,
justru sayalah yang mengungkap identitas Anggi.
Kalian tau? Panik!
Ya, ini hanya masalah panik yang bisa berakibat fatal sekali. Sambil terus berpikir jernih, ada panggilan masuk lagi, ini semakin menambah kecurigaan saya, tidak mungkin polisi seagresif ini. Saya mengabaikan semua panggilannya dan terus berpikir.
Hingga akhirnya ada sms masuk yang berbunyi, “ko tidak diangkat? Ini BRIGADIR KEPALA”, oke ini penipuan! Saya merutuk dalam hati, bodoh sekali saya sampai bisa ditipu habis-habisan seperti ini. Ini jam berapa? Sudah jam 4 pagi, ah bahkan menyia-nyiakan tidur nyenyak saya untuk melayani penipuan ini.
Dan beruntungnya, jam 4 pagi itu Anggi membalas BBM saya, “kenapa mba? Tadi lagi tidur”. Lihat Mukti!! Anggi aman. Tadi itu bukan Anggi! Saya mengucap syukur berulang kali, bersyukur karena Anggi aman, bersyukur karena saya hanya kehilangan jam tidur saya dan tidak kehilangan apapun selain itu. Jam 4 lewat 30 saya berhasil tidur dengan perasaan lega.
Kalian tau? Panik!
Ya, ini hanya masalah panik yang bisa berakibat fatal sekali. Sambil terus berpikir jernih, ada panggilan masuk lagi, ini semakin menambah kecurigaan saya, tidak mungkin polisi seagresif ini. Saya mengabaikan semua panggilannya dan terus berpikir.
Hingga akhirnya ada sms masuk yang berbunyi, “ko tidak diangkat? Ini BRIGADIR KEPALA”, oke ini penipuan! Saya merutuk dalam hati, bodoh sekali saya sampai bisa ditipu habis-habisan seperti ini. Ini jam berapa? Sudah jam 4 pagi, ah bahkan menyia-nyiakan tidur nyenyak saya untuk melayani penipuan ini.
Dan beruntungnya, jam 4 pagi itu Anggi membalas BBM saya, “kenapa mba? Tadi lagi tidur”. Lihat Mukti!! Anggi aman. Tadi itu bukan Anggi! Saya mengucap syukur berulang kali, bersyukur karena Anggi aman, bersyukur karena saya hanya kehilangan jam tidur saya dan tidak kehilangan apapun selain itu. Jam 4 lewat 30 saya berhasil tidur dengan perasaan lega.
Pagi harinya saya mendapati banyak panggilan
masuk dan 1 sms yang kurang lebih berbunyi ‘tolong diterima telponnya ibu, agar
dpt kita selesaikan masalah keluarga ibu’ saya lupa tepatnya, tapi kurang lebih
seperti itu.
Kemudian saya putuskan sebaiknya saya mengirim sms balik, bunyinya kurang lebih seperti ini “0,001% dari insya Allah saya tadi adalah kehendak Allah. Alhamdulillah Allah tunjukkan pada saya bahwa ini hanya PENIPUAN.. semoga Anda mndapat hidayah dari Allah...”
tak lupa saya juga menyertakan satu penggalan hadist untuknya,
“Pada hari kiamat, tidak akan bergerak pijak kaki anak Adam dari sisi Rabbnya, hingga ditanya ttg 5 hal (diantaranya) ... tentang hartanya, darimana dia peroleh dan kemana dia nafkahkan? (HR. At Tirmidzi)” oke, kirim. Dan smsnya tampaknya diterima dengan baik di ujung sana.
Kemudian saya putuskan sebaiknya saya mengirim sms balik, bunyinya kurang lebih seperti ini “0,001% dari insya Allah saya tadi adalah kehendak Allah. Alhamdulillah Allah tunjukkan pada saya bahwa ini hanya PENIPUAN.. semoga Anda mndapat hidayah dari Allah...”
tak lupa saya juga menyertakan satu penggalan hadist untuknya,
“Pada hari kiamat, tidak akan bergerak pijak kaki anak Adam dari sisi Rabbnya, hingga ditanya ttg 5 hal (diantaranya) ... tentang hartanya, darimana dia peroleh dan kemana dia nafkahkan? (HR. At Tirmidzi)” oke, kirim. Dan smsnya tampaknya diterima dengan baik di ujung sana.
Kasus ini, hanyalah satu dari ribuan kasus
penipuan lain.
Sejenak saya bersyukur nyaris tertipu, setidaknya untuk pengalaman dan bisa dibagikan pada yang lain agar lebih hati-hati. Banyak sekali kasus semacam ini yang terjadi. Dan saya berniat akan melaporkan ini ke pihak yang berwajib.
Sebelum saya melapor, saya mengirim BBM ke teman saya yang bekerja sebagai staff admin di kantor kepolisian di daerah saya. Saya bertanya padanya untuk meminta pertimbangan, perlukah ini dilaporkan? Jawabannya apa? “kemarin-kemarin banyak juga yang lapor kayak gitu, tapi polisinya cuma bilang ‘sebaiknya ngga usah diladeni’”.
Cukup mengejutkan juga! Pengayom masyarakat yang dibayar rakyat justru menyepelekan keluhan mereka. Oke saya tidak mau terlalu banyak berkomentar. Hanya sangat menyayangkan hal ini. Sesepele apapun, tolong pertimbangkan dan bantu. Justru dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pihak yang berwajib seperti ini lah yang akhirnya membuat masyarakat main hakim sendiri.
Sejenak saya bersyukur nyaris tertipu, setidaknya untuk pengalaman dan bisa dibagikan pada yang lain agar lebih hati-hati. Banyak sekali kasus semacam ini yang terjadi. Dan saya berniat akan melaporkan ini ke pihak yang berwajib.
Sebelum saya melapor, saya mengirim BBM ke teman saya yang bekerja sebagai staff admin di kantor kepolisian di daerah saya. Saya bertanya padanya untuk meminta pertimbangan, perlukah ini dilaporkan? Jawabannya apa? “kemarin-kemarin banyak juga yang lapor kayak gitu, tapi polisinya cuma bilang ‘sebaiknya ngga usah diladeni’”.
Cukup mengejutkan juga! Pengayom masyarakat yang dibayar rakyat justru menyepelekan keluhan mereka. Oke saya tidak mau terlalu banyak berkomentar. Hanya sangat menyayangkan hal ini. Sesepele apapun, tolong pertimbangkan dan bantu. Justru dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pihak yang berwajib seperti ini lah yang akhirnya membuat masyarakat main hakim sendiri.
Well, jadi begitulah penuturan saya mengenai
kasus penipuan yang saya alami. Semoga bisa membantu dan saya harap, saya
menjadi korban penipuan yang terakhir.
Sekian, semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment