Langsung ke konten utama

Namanya Juga Anak Anak

Bismilllahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum para (calon) bapak dan ibu.

Sebelumnya tulisan dengan tema serupa udah pernah ada dan aku sharing di sosial media. Cuman aku lupa siapa yang pernah nulis ini. Jadi kali ini aku bikin tulisan versi aku, semoga bisa jadi bahan pertimbangan buat orang dewasa kayak kita.

Walaupun aku belum jadi ibu, seenggaknya aku di usia 15 tahun udah ngurusin adekku yang masih 0 hari sampai sekarang. Dan aku sering ngajakin adekku jalan berdua aja, entah ke tempat rame atau sekadar ke rumah temen, yang artinya aku pun pernah ada di posisi ini.

***

"Namanya juga anak anak" kata salah seorang ibu yang memaklumi tingkah anaknya yang telah menghambur hambur baju di toko pakaian terkemuka kota itu. Ibu tersebut menarik lengan anaknya dan tanpa merasa berdosa berlalu begitu saja. Meninggalkan baju baju yang berhamburan di lantai dan pramuniaga yang hanya bisa memandangi mereka dari kejauhan. Kemudian pramuniaga itu membungkuk melipat baju-baju tadi.

Sebuah pemandangan yang sering terjadi.

Memang bukan tugas ibu tersebut untuk merapikan baju yang dihamburkan anaknya, dia kan pembeli dan memang tugas pramuniaga untuk menyusunnya kembali ke rak, dia dibayar untuk itu. Bukan salah anak tersebut karena telah menghamburkan baju dan tidak merapikannya kembali, mungkin memang dia se-tidak paham-itu. Tapi apakah boleh hal diatas dilakukan?

Semoga kalian punya jawaban yang sama denganku.

Yap. Ibu si anak tadi harusnya yang bertanggung jawab. At least meminta maaf kepada pramuniaga, dan mengajak anaknya untuk meminta maaf juga. Kemudian mereka merapikan baju yang telah dihambur-hambur tadi atau paling tidak membantu pramuniaga untuk merapikannya. Begitulah anak diajari untuk bertanggung jawab.
Bukan dengan kalimat pamungkas "namanya juga anak-anak" sehingga kita membebaskan anak untuk melakukan apa saja tanpa merasa bersalah.

***

Ada seorang ayah dan anak balitanya sedang bersantai di sudut food court. Kemudian terlihat seorang pria menghampiri mereka, sepertinya teman kerja sang ayah. Di antara percakapan yang terjadi, ada beberapa kalimat yang cukup mengusikku.
Si ayah yang sepertinya begitu bersemangat karena balitanya sudah bisa berbicara, mulai memamerkan kemampuan anaknya di hadapan pria tadi. Ayah tersebut bertanya (yang aku pun nggak tau kenapa harus pertanyaan rendahan macam ini yang ditanyakan), "Nak, Om ini ganteng apa nggak?"
Anaknya kemudian memandangi wajah pria di hadapannya sambil mengerucutkan bibir. Sementara pria tadi tersenyum lebar, berharap jawaban terbaik yang diucapkan balita tersebut. Kemudian balita itu dengan cueknya mengatakan "nggak", ayah tadi tertawa terbahak. Pria itu pun tertawa kecil, satu sisi ia kecewa, di sisi yang lain ia maklum.
Lalu si ayah bertanya lagi "terus siapa dong yang ganteng?" (Kalian pasti sudah tau jawaban si anak)
"Ayah!" Seru balita tadi. Ayahnya kembali terbahak dan mengusap kepala anaknya sambil berujar "pintar".

Lagi lagi sebuah peristiwa yang sangat sangat biasa dan sering terjadi di sekitar kita.

Aku kasian dengan balita itu, sejak kecil sudah diajari 'body shamming' dari seseorang yang mestinya jadi panutan baginya. Kenapa harus mengambil resiko dengan menanyakan hal hal yang berbau fisik kepada seorang anak balita? Kita kan nggak pernah tau jawaban apa yang keluar dari anak? Lagipula respon "pintar" dari sang ayah ini maksudnya apa? Karena anak tadi memujinya? Yaiya anaknya sih. Atau pintar karena anaknya sudah mencela orang lain?

***

Lagi lagi, kalimat "namanya juga anak anak" meluncur dari orang tua yang melihat anaknya berlarian di atas karpet rasfur milik tetangga mereka. Sore ini ibu paruh baya sambil menyuapi anaknya mampir ke rumah tetangga mereka. Sembari ngobrol hal hal remeh seperti gosip artis sampai harga ayam yang terus naik. Kemudian setelah menyelesaikan makannya, si anak mulai berlarian di halaman rumah. Namun tak sampai disitu, puas menginjak injak rerumputan basah, anak ini masuk ke dalam rumah dan sa'i di dalam. Bolak balik dari teras sampai dapur. Menginjak apapun dengan kaki kotornya.

Ibu paruh baya tadi terlalu asyik membicarakan kekayaan Nia Ramadhani, sambil sesekali memanggil nama anaknya. Seolah ingin memperlihatkan bahwa dia pun tak ingin anaknya berlarian. Tetangganya tak lagi khusyuk mendengarkan obrolan ibu itu. Matanya memindai lantai rumah yang kotor dan ia sibuk berdoa dalam hati, berharap anak tetangganya kelelahan dan berhenti menginjak karpet mahal miliknya. Seriusan, karpet rasfur itu mahal bu.

Ibu tadi akhirnya pamitan dan menegur anaknya "dek kamu tuh jangan lari larian, lihat lantai tante jadi kotor" katanya. Sungguh sebuah teguran basa basi yang sangat teramat basi. Tetangganya hanya tersenyum kecil, ia bahkan tak mampu hanya untuk mengatakan "nggak papa". Karena ini terlalu serius.

Aku bersyukur adekku di masa kecilnya sangat mudah diatur. Dia cuman duduk manis, super anteng. Alhamdulillah. Aku nggak harus mengatakan "namanya juga anak anak" pada orang lain, dan aku pun nggak suka menggunakan kalimat itu.

Seharusnya para bapak atau ibu yang punya anak hiperaktif, cobalah untuk mendisiplinkan dan memahamkan anaknya dengan baik. Kalau mau menegur anak, melarang mereka menghambur mainan orang lain, melarang mereka berlarian dsb, harus dilakukan dengan sungguh sungguh. Jangan cuma seadanya seperti contoh tadi. Kalau mungkin kalian cuek dan nggak peduli dengan perasaan orang lain, ya minimal coba pedulikan sikap dan sifat yang tengah kalian tanamkan pada anak kalian. Apakah baik seperti itu?

***

Lain kasusnya dengan anak tantrum. Anak anak yang menangis karena merasa nggak nyaman, anak anak yang rewel karena merasa asing dengan lingkungannya sehingga mengganggu ketenangan publik. Well it's okay. Karena aku juga pernah gendong adekku yang histeris abis jatuh dan dengkulnya lecet. Dia nangis jerit jeritan nggak mau ditenangin.

Nah buat kasus ini, kalimat "namanya juga anak anak" boleh dipakai. Pas banget penempatannya.

Sampai sini udah paham kan bedanya?

Dan semua kembali kepada pribadi masing masing. Biar bagaimanapun pola asuh anak itu hak  tiap orang tuanya.
Semoga para orang tua bisa terus belajar dan belajar demi masa depan anaknya dan kenyamanan lingkungan sekitar.

Artikel ini cuman opini aku, hak kalian juga buat menyanggah atau sependapat. Sekian❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bersyukur

Hari ini aku mengajar. Menjelaskan dengan suara lantang dan tangan yang ku masukkan di saku. Oh ayolah. Jangan kaku begitu. Jangan kamu bilang aku sombong karena gesture ini. Tangan yang dimasukkan ke saku...memang seenak itu! Rasanya letih sekali kalau harus kamu kritik hal itu. Di sela mengajar, Anak anak kelas lain lewat sambil menoleh ke kelasku, bergantian memberikan senyum untukku, atau melambai padaku. Pun ketika aku berjalan di koridor, sapaan, tawa, malu malunya mereka, hal remeh yang ternyata menyenangkan untuk dirasakan :) Semoga semua perlakuan itu tulus dari hati. Dengan begitu, hatiku juga bisa nyaman menerimanya. :) Terima kasih ya Allah. Aku bersyukur.

Kapsul Waktu Part 1 (Teknologi)

Membicarakan masa lalu memang seseru itu. Anak anak kelahiran tahun 90an pasti sangat relate. Tapi tidak banyak yang bisa berlama-lama membicarakan masa lalu lagi saat ini, waktu semakin menghimpit, beban semakin berat di pundak, banyak pekerjaan yang mencapai tenggat. Padahal seandainya mau meluangkan waktu, aku yakin waktu yang dibutuhkan untuk mengupas masa lalu tak akan pernah sebentar. Mari kita bercakap-cakap masa lalu yang luar biasa itu disini saja, sebab kini kita sudah kehilangan banyak kesempatan. Kali ini temanya teknologi, tapi mungkin tidak runut ceritanya, aku minta maaf dulu :D Dan semoga ada kesempatan berikutnya untuk kita membicarakan tema lainnya. *** Aku punya sebuah kotak kardus kecil di lemari, isinya adalah beberapa kenangan di waktu sekolah dulu. Saat aku menyimpannya, aku tak punya maksud apa-apa selain terlalu sayang untuk membuang benda tersebut. Tapi kini aku bersyukur masih memiliki benda-benda itu, aku seperti sedang mengubur kapsul waktu. Benda-benda itu...

Menciptakan Keberanian

Tahapan dalam hidup kadang memang seunik itu. Dan sungguh hidup bukanlah sebuah perlombaan. Setiap manusia memiliki garis waktunya masing masing. Aku menemukan banyak sisi lain dari diriku di tiap garis usiaku, dan itu berbeda dari teman sebayaku. Misalnya aku hari ini, di usia 30 tahunku, aku banyak berani melakukan sesuatu yang dulunya aku merasa malu untuk melakukannya. Hari ini aku senam pramuka bersama teman kantorku, Sekadar informasi, aku dulu tidak suka senam. Karena malu melakukan gerakan senam di hadapan banyak pasang mata yang memandang. Tapi kini, aku suka senam (yang gerakan dan musiknya memang sopan ya). Aku bersemangat melakukannya. Setelah senam, aku merasa free untuk melakukan kegiatan lainnya, aku membawa tali keluar kantor. Ternyata banyak temanku tertarik dan ingin mencoba. Aku akhirnya bermain bersama sama. Aku suka memberanikan diri bermain tali dan mengakui ketidakmampuanku dalam bermain. Dan itu tak apa, kami bersenang senang! Setelah main tali, aku memainkan ru...

Win Some and Lose Some

"That's how it is. You win some you lose some. That's how the world works. I don't have any regrets at all" Suga BTS said after their concert. Sederhananya kurang lebih, untuk mendapatkan sesuatu kita harus siap kehilangan yang lain. Aku merenung sebentar. Maksudku, ku pikir aku yang tidak bisa mengatur waktuku disini. Atau...aku yang salah dalam melangkah. Nyatanya, ini semua hanyalah sebuah hukum alam yang sulit tertampik. Aku sering merasa bersalah meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, kemudian di kamar sepanjang malam dan baru keluar kalau lapar. Rasa rasanya, aku tidak mampu kalau harus sekadar bercengkrama selepas maghrib di ruang tivi. Karena kantuk dan penat yang sangat rindu kasur. Apalagi kalau harus bekerja lagi  di rumah, seperti memasak, menyapu dan sebagainya. Di kantor semua energiku terkuras habis, tidak hanya di badan, di pikiran juga, pun di hati juga. Jadi pulang ke rumah, aku hanya ingin mengistirahatkan semua dan kemb...

Nilai Oh Nilai~

Sedang mengerjakan erapor, rutinitas tiap akhir semester. Bagian paling berat adalah menuliskan nilai jujur ke anak anak. Sebenarnya bukan pelit nilai sih, tapi ya apa adanya aja ke anak, dan sebenarnya pun kalau harus apa adanya, nilainya gak akan sebagus itu hahaha Kayak 70 pun jauh kali, realnya gak sampe 70. Terus juga mikirin efek psikologisnya ke anak anak, kalau dikasih nilai segini, nanti gimana ya efeknya? Makin semangat atau gimana ya? Mikir juga, nilai ulangannya jujur atau curang ya? Gak bisa mentah-mentah ngambil nilai ulangannya, kudu ditelusuri juga kesehariannya gimana, aktif gak? Lengkap gak tugasnya? Sama guru lain gimana? Hehehe Jadi kalau ada yang bilang ibu pelit nilai, sini ku kasih lihat real-nya nilai, dan perhitungan matematis dan pertimbangan attitudenya juga. Maka  kamu akan tercengang dengan nilainya :P Dan fyi aja, nilai nilai itu sudah digodok dengan lama, dipikirin minimal tiga kali banget, kadang diubah karena kasihan, kadang diubah karena banyak hal...

Himdeureo

Jalan ini sulit, Apakah akan terasa mudah jika melaluinya bersamamu? Aku sekarang tidak mahir membuat tulisan panjang lebar lagi, mungkin karena aku tidak punya objek dalam tulisan ini. Tak ku tujukan pada siapapun, tak ku sematkan untuk siapapun. Tulisan tulisan tak bertuan. Miliki saja bila kau ingin. *** Aku ada disini. Dalam ratusan tulisan yang bisa kau baca tiap hari. Kau bisa mampir jika ingin. Kau bisa membacanya jika rindu. Seolah aku sedang bercakap di depanmu. Kau bisa membawaku dalam semua kegiatanmu. Saat kau menunggu antrian, saat kau sedang bosan, saat kau akan tidur. Aku selalu ada. Tapi bagiku, kau tidak ada dimanapun. Kau tidak bisa ku temukan dalam apapun. Kau tidak akan pernah hadir walau ku cari bertahun tahun. *** Aku membencimu, sebanyak aku ingin melupakanmu.

B E I N G G R A T E F U L

Aku begitu mencintai setiap fase hidupku. 30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.  Lahir sebagai bayi normal nan sehat. Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang. Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku. Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku. Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat. Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti. Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik. Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik. Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal. Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Dilindungi dengan cinta dan harapan. Direngkuh dengan kasih dan sayang.

Takdir

Ada yang mengejarku selama ini, aku menghindar. Entah apa yang salah, mungkin aku membenci caranya mendekatiku. Setiap perhatiannya memuakkan. Aku juga kebingungan dengan diriku ini. Ternyata memaksakan diri jatuh cinta memang tidak mudah. Mungkin begitulah aku di matamu? Seketika itu aku bercermin. Melihat pantulan diriku yang begitu hebat masih mengejarmu. Mungkin kamu sangat terganggu dan kebingungan menghindariku. Dasar aku, kamu, dan takdir ini.
Mau produktif menulis, tapi makin kesini makin membuncah rasa malasku, Hati yang khawatir, cemas berkepanjangan, tiba tiba datang menyerang, Aku ingin produktif, tapi terlalu malas

Surat Terbuka untuk Kelas XII 2018

Demi menulis apa yang sedang menyesaki kepala, sampai rela meninggalkan soal ulangan yang padahal dikejar deadline. Bismillahirrahmanirrahim... Jadi, malam ini, Nak. Postingan ini ditujukan untuk kalian anak-anak ibu yang lucu dan menggemaskan (pada akhirnya kalian menjadi lucu dan menggemaskan bagi ibu). To be honest , jarang sekali momen paska perpisahan itu baper ya, sampai-sampai tertuang di blog ini. Tapi mungkin dua tahun cukup lah sebagai pertimbangan kenapa kalian agak berkesan hingga akhirnya ibu rela menuliskan surat ini disini.