Buah naga-ku sudah habis bersih, hanya air putihku yang tersisa setengah gelas.
***
Beberapa bulan setelahnya, senin di akhir bulan januari. Mestinya turun salju saat itu, untuk setidaknya membuat wajahku lembap dan sehat.
Aku duduk kelelahan di koridor, bermandikan panas matahari pagi menjelang siang. Jangan tanya bagaimana penampilanku, mandi bunga saja tidak cukup membantu, apalagi aku kala itu yang baru saja selesai melaksanakan tugasku.
Datanglah pemuda tadi, yang tak lagi mengenakan pakaian biru mudanya, berjalan ke arahku -maksudku berjalan ke arah pintu di belakangku-.
Bisa-bisanya dia hadir tanpa perasaan bersalah di jam siang itu. Seharusnya dia datang pagi-pagi, saat aku baru sampai dan masih ada aroma sabun mandi yang melekat di badanku. Pemuda itu selalu saja menemukan aku di saat saat terburukku.
Ku sapa sekenanya, karena aku ramah. Kemudian aku berlalu, karena aku sibuk. Sedihnya.
Aku harus mengerjakan sebuah tugas yang menyita energi di ruangan tanpa ventilasi. Ruangannya di ujung dunia. Jauh. Cukup jauh dari tempat pemuda tadi mungkin menghabiskan waktu.
Setelah hampir satu jam, aku keluar ruangan panas itu dan bergegas kembali ke ruanganku nun jauh disana. Aku mendengar lamat lamat suara masjid, menjelang dzuhur. Sambil melepas kacamata, aku mencari sepatuku yang terhambur di teras.
Bagian terbaik dan terburuknya harus ku hadapi beberapa menit setelah aku mengenakan sepatu.
Pemuda tadi sedang duduk manis di sebuah kursi panjang tak jauh dari tempatku berdiri. Itu bagian terbaiknya. Dia masih belum pulang. Dan...bagian terburuknya adalah, aku baru ingat di wajahku pasti ada bekas kacamata yang barusan ku lepas!
Terpaksa ku sapa, ya karena aku ramah, kan?
"Kenapa masih disini?" tanyaku basa basi
Pemuda tadi berdiri dan menjawab ia sedang menungguku. Maaf? Menungguku!
Kenapa sih semua laki-laki selalu mengatakan hal seperti ini?
Aku berlalu saja, mengabaikan. Karena aku kan bukan Raline Shah :') tidak perlu ada yang menunggu :(
Tanpa ku sadari, ia membersamai. Aku terhenti akhirnya. Dan memastikan apakah ia sungguhan menunggu aku?
"Iya"
Iya, katanya :(
"Kenapa?" tanyaku
Pemuda tadi mengatakan bahwa ia ingin meminta kontak-ku. Ya Tuhan, kenapa Engkau memberikan kejutan yang bahkan tidak terbayangkan sama sekali seperti ini?
Aku pernah membayangkan menjadi kaya, menjadi terkenal, menjadi dokter, tapi, membayangkan hal seperti ini? Sama sekali tidak! Bahkan bermimpi pun tidak pernah. Aku cukup tau diri untuk bercermin, hal hal seperti ini hanya ada di bacaan Wattpad saja. Tidak mungkin nyata.
Tapi kini, hal itu terjadi padaku. Aku merasa masuk dalam dunia per-teenlit-an, dimana aku menjadi karakter utamanya. Si nerd yang kagum pada teman sebangku atau kakak kelas yang punya banyak fans... Oh maaf sepertinya analogi kita agak jauh ya.
Aku bingung harus bersikap selain kikuk dan bertindak bodoh.
Dan tidak perlu waktu lama, satu pesan Whataspp pemuda tadi mendarat dengan sempurna di ponselku dan telah ku screenshot dengan sempurna juga. Ups
Too good to be true, terlalu manis untuk menjadi kenyataan dalam hidupku.
***
Dan memang karena terlalu manis itulah, Tuhan mulai memaksa aku belajar ilmu ikhlas :)
Tidak baik terlalu banyak manis, kan?
Pemuda yang awalnya mungkin salah makan lalu tersesat dalam kegelapan, mulai dibimbing Tuhan menuju cahayaNya. Hehe
Pemuda itu berlalu dalam sebentuk tanda tanya.
Ia pergi, dalam diamnya.
Sebagaimana ia menyimpan teka-teki atas kehadirannya dalam hidupku, kepergiannya pun menyisakan banyak pertanyaan.
Namun aku tak punya hak berbicara dengannya, aku juga tidak tau apakah ada hal yang perlu ku perbaiki agar ia tidak pergi.
Kepergiannya ku ikhlaskan, kehadirannya ku syukuri.
Harapanku masih tidak berubah, dia tidak perlu menyukaiku, hanya semoga dia tidak membenciku
***
Ada banyak hal yang ku simpan darinya, yang memang ia tidak perlu tau.
Untuk apa?
Seperti yang ku katakan sebelumnya, jarak Indonesia-Amerika masih bisa ditempuh dalam satu hari perjalanan, tapi jarakku dan pemuda ini jauh, tidak akan bisa ditempuh, kecuali oleh keajaiban.
Dia mungkin tidak tau, tidak menyadarinya, namun aku semestinya yang lebih tau.
Warna pakaianku, dan pakaiannya adalah jarak.
***
Andaikan waktu bisa terulang kembali, aku tetap tidak akan mengatakan atau berbuat sesuatu. Karena tidak ada yang perlu diperbaiki, memang beginilah jalannya. Beginilah seharusnya yang terjadi diantara aku dan pemuda biru muda itu.
Bahkan berada di titik ini, bisa mendengarkan sedikit cerita hidupnya, bisa mengatakan beberapa hal untuknya, bisa berada dalam satu frame dengannya, adalah sebuah hal tergila yang tidak pernah melintas di pikiranku sebelumnya.
Aku bersyukur pada Tuhan, untuk kenangan ini.
Tidak semua orang memilikinya.
Aku akan menuliskan satu pesan singkat untuk pemuda kita ini, tak apa, tak ada maksud apa apa, hanya ingin mengutarakan saja. Toh dia tidak akan membacanya.
***
Sebelum januari itu, hariku kelabu. Mungkin kamu mengetahuinya dari tulisanku.
Aku sakit, dan bisa kembali beraktifitas menjadi suatu hal yang awalnya ku ragukan. Karena ku kira aku tidak akan pulih.
Jadi aku bersyukur ada di tempat itu dalam kondisi setengah sehatku, yang kemudian aku bertemu denganmu.
Aku sakit, selama berbulan bulan, itulah aku dan kelemahanku.
Aku bahkan tidak lagi berdoa untuk bisa melihat matahari di hari esok, selama aku malam ini bisa tidur nyenyak saja, aku sudah sangat berterimakasih.
Aku berdoa, agar kepergianku baik dan dimudahkan. Ku pikir aku akan segera menemui ajalku.
Hingga akhirnya aku bertemu kamu,
Kamu dan semua hal hal remeh temeh yang kamu lakukan padaku,
ternyata berhasil membuatku tersenyum.
Begitulah Tuhanku, menghadirkanmu agar aku bisa segera pulih.
Aku tidak mau kamu melihat sisi lemahku, maka aku berusaha tampil baik dan kuat di depanmu.
Aku menyembunyikan semua kurangku, aku ingin kamu melihat diriku yang baik baik saja.
Dan sejak hari aku bertemu denganmu di akhir januari itu, aku berdoa agar aku bisa segera pulih dan bisa hidup esok hari.
Perasaan ini sudah ku tuliskan dalam tulisan berjudul Faith and Hope, tapi kurasa kamu tidak memahami maksudnya ketika itu.
Tidak ada yang ingin ku katakan kepadamu selain terima kasih dan maaf.
Terima kasih telah membuatku kuat, terima kasih telah membuatku bahagia, terima kasih telah mengajarkan kepadaku bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana foto bulan yang kamu bagikan tepat setelah story WA ku. Sesederhana story IG-mu yang kamu bagikan, saat hanya ada aku saja pengikutmu.
Ketahuilah bahwa story IG-mu telah ku hidupkan notifikasinya.
Sungguh kekanak-kanakan sekali bukan?
Terima kasih untuk semua hal baik yang kamu lakukan padaku, juga untuk kamu yang rela shalat maghrib di sekitar rumahku, aku sangat menghargai semuanya.
Aku, akhirnya menyukaimu.
Dan karena itulah, aku menahan diri untuk tidak mengatakan atau melakukan apapun.
Aku tidak ingin kamu terjebak dalam hidupku, yang penuh luka.
Kamu adalah pemuda yang ceria, aku tidak ingin kamu terseret dalam kotak pandoraku.
Karena semakin kamu masuk dalam hidupku, aku takut kamu tidak bisa bahagia lagi.
Dan justru karena aku menyukaimu, aku membuatmu pergi.
Aku tidak ingin kamu melihat sisi gelapku, aku hanyalah seseorang yang punya banyak cacat,
Aku ingin kamu mengenangku sebagai seseorang yang sempurna...seperti tatapanmu padaku sebelumnya
Apakah kamu ingat, hari ketika aku keluar dari ruanganmu, dan kamu menyusul di belakangku?
Seharusnya kamu menghentikanku, tapi kamu terlalu pemalu,
Kamu tetap membiarkanku berjalan di depanmu, di saat kamu kesulitan ingin membuatku berbalik.
Apakah kamu tau, berapa kali aku menahan diriku untuk tidak menunjukkan diriku yang sebenarnya?
Maaf untuk sekat yang ku buat
Aku tidak ingin kamu mengenang apapun dariku,
Banyak tulisan yang ku buat untukmu, aku tau itu tidak akan mengubah apapun.
Tapi ketahuilah, bahwa kamu sangat penting dalam hidupku, dan aku tidak pernah berbohong dalam tulisanku ini.
Aku mungkin tidak jujur tentang perasaanku, yang ku katakan padamu di sabtu pagi itu.
Tapi semua yang ku katakan disini adalah perasaanku yang sebenarnya.
Aku tidak menyesal telah mengatakan kebohongan padamu pagi itu,
aku hanya menyesal karena tidak memiliki kesempatan minum kopi bersamamu.
Apakah akan ada kesempatan itu?
Dan apakah setelah minum kopi itu, semuanya bisa berubah?
Entah
Waktu terus berlalu, aku masih teringat keterkejutanmu saat kita berbincang tentang hari lahirku.
Kemudian bagaimana kita seperti punya kesamaan karena sama-sama belajar tahsin.
Sial. Aku teringat semua ini lagi
Aku yakin kamu sudah lupa semuanya kan?
Dan kini aku yang terseret dalam lingkaran ini.
Sudah pukul 11.13 malam, aku harus pamit.
Tidakkah kamu ingin mengatakan sesuatu padaku?
:)
Tapi nanti aku semakin menyukaimu, :(
Kamu tau kan dimana menemukanku?
Aku belum beranjak, masih di tempat yang sama.
Aku akan beranjak ketika waktunya tiba, tidak perlu khawatir. Aku tau kapan harus menutup cerita ini.
Selamat berakhir pekan, pemuda biru mudaku yang tampan :)
Komentar
Posting Komentar