Bulan oktober itu, bapak sakit.
Harus dibawa ke IGD, karena dokter praktik yang didatangi tidak membukakan pintu.
Bulan oktober itu aku sangat kesulitan.
***
Sabtu pagi, aku masih sempat bekerja di rumah. Karena jumat depan aku harus membuat video di kelas. Aku bersyukur dimampukan bekerja saat itu.
Kondisi rumahku, ada bapak, ibu, aku, dan si bungsu. Kakakku sudah tinggal bersama suaminya jauh. Sehingga begitulah gelar "anak perempuan pertama" perlahan berada di bahuku.
Bapak sakit sejak kamis, tapi aku berprasangka baik pada Allah. He is going to be okay. Tapi ibu bilang bapak muntah muntah. Oh okay, nggak apa kan? Aku masih memusatkan perhatianku pada pekerjaan.
Ibu datang lagi mengatakan padaku bahwa bapak pergi berobat sendiri. Dan ibu khawatir, takut bapak jatuh di jalan. Aku bilang, yasudah ibu susulin saja.
Kemudian ibuku menyusul.
Tidak ada yang tau isi hati manusia.
Aku sejatinya gemetar dan cemas.
Tapi aku tetap berusaha mengerjakan pekerjaanku.
Ibu pulang dengan bapak, Dek mau ibu antar aja ke dokter. Cepet telpon Beni (sepupuku). Suara ibu yang terburu buru. Aku benci.
Aku bingung, tapi berusaha tarik napas, tenang.
Aku berhasil menelpon Beni, Ben tolong kesini antarkan pakde berobat ya sekarang. Ada nada memaksa dan memohon dariku yang begitu kentara.
Tak lama bapak diantar ke dokter.
***
Hari minggu pagi, aku mandi, mencuci, bersiap entah untuk apa. Aku punya firasat bahwa hari ini akan sibuk. Maka aku segera bergegas.
Ibu pulang dari masjid pagi itu, tak perlu banyak jeda, bapak langsung mengadu bahwa kondisinya semakin tak nyaman.
Akhirnya ibu menyerah dan mengantarkan bapak ke dokter langganannya bersama sepupuku yang lain.
Aku tidak punya banyak waktu melamun. Aku hanya mengiyakan bapak ibu berobat lagi, sambil melakukan pekerjaan rumah. Termasuk pergi membeli bubur dan kue.
Aku kembali jam 7 pagi, yang langsung mendapat telepon ibuku. Dek ini bapak di IGD siapkan selimut dan bawa makanan kesini.
Aku berusaha tenang, iya ku jawab. Lalu aku bersiap.
***
Sebelum dzhur kami sudah pulang. Bapak rawat jalan saja. Dan rumah menyambut kami seperti sedia kala. Tapi tidak dengan kondisi bapak.
Hari demi hari aku dan ibu bergantian mengurus bapak.
Hari demi hari kami terus berdiskusi memikirkan bagaimana kondisi bapak, apa yang harus dilakukan dan sebagainya.
Hari demi hari kami kelelahan. Entah menjaga bapak, menyiapkan makan dan obat, atau mendengar bapak muntah di jam 3 pagi.
... Tbc
Komentar
Posting Komentar