Langsung ke konten utama

My Hardest Part (2)

Bismillahirrahmanirrahim

Tulisanku kedua, yang pertama bisa baca disini.
Aku tidak tau kapan tulisan ini akan rampung ya. 

***

Aku dan ibu akhirnya membuat janji temu dengan psikiater. Malam-malam gerimis kami memesan taksi online. Aneh rasanya di sepanjang perjalanan, apalagi saat supirnya mencoba ramah dengan bertanya apakah kami mau berobat? Berobat apa? Padahal satu-satunya dokter yang ada saat itu adalah dokter jiwa.

Aku bertemu psikiater.
Rasa di dalam dadaku campur aduk. Takut, malu, sedih, dan emosi lain silih berganti.
Aku menceritakan apa yang ku alami pada dokternya, sambil menggegam erat buku jariku, sesekali aku menangis.

Dokternya merespkan obat, mengatakan padaku bahwa sakitku ini memang ada, namanya anxiety disorder atau gangguan kecemasan berlebih, dan bisa diobati. 
Waktu pengobatannya enam bulan. Tapi sebenarnya waktu pengobatannya fleksibel, bisa lebih cepat, bisa juga lebih lama. Bahkan bisa tahunan.
Aku lemas dan gontai berjalan keluar ruangan.

Pukul 9 malam. Aku memesan taksi pulang lewat hp ibuku yang ternyata kehabisan paket data.
Setelah berjuang memesan taksi online dengan dramanya, kami tidak dapat apa-apa. Sudah malam, tidak ada taksi yang mau mengambil orderan. Hujan semakin lebat, ibuku panik.

Maka begitulah ketidaksengajaan yang membuat keluargaku yang lain tau, kami mau tidak mau menelpon minta dijemput oleh sepupuku, dia akhirnya tau bahwa aku baru saja dari dokter jiwa.

Keesokan harinya, budeku datang dan bertanya, "ada apa, sakit apa?"
Berita tentang sakitku tersebar. Qadarullah.
Tapi ternyata memang itu yang terbaik. Keluargaku jadi bisa maklum dengan kejadian ganjil yang ada padaku setelahnya.

Misalnya aku yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba bersandar di pundak ibuku sambil berderai air mata. Aku yang rebahan di sofa sambil minta maaf dan sesenggukkan. Aku yang meringkuk di kasur sambil menatap kosong dan lagi lagi keluar air mata. 
Aku yang ke rumah budeku di jam sebelas siang dan semenit saja di sana untuk kemudian pulang lagi. Aku yang takut menonton berita. Aku yang tidak berani mendengar suara tv. Aku yang meremas tanganku dan berkeringat dingin. Aku yang takut lihat pisau dan benda tajam.

Hari demi hari seperti hujan deras yang gelap sekali.
Badai tergelap dalam hidupku.
Menit demi menit sangat menyiksa.
Tidak ada masa depan yang tergambar. Semua seperti malam yang pekat yang sangat pekat.

Aku tidak masuk kerja selama sepuluh hari. Obat dari dokter itu seperti obat tidur yang melumpuhkan semua kerja otak-ku. Aku tidak bisa sama sekali bangun dari tidur. Shalat yang ku jalani hanya sambil lalu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir apapun.

Aku tidak lagi melakukan hal hal yang ku suka, seperti menonton drama Korea, membaca buku, menulis blog, jalan-jalan, jajan, belanja. Aku tidak punya satu pun keinginan sama sekali. 
Aku juga tidak berminat lagi makan nasi goreng, es krim, es kopi, makroni pedas, ayam goreng, bakso, sate, molen, dan sederet makanan kesukaanku, aku sangaaaat tidak punya selera makan. 

Aku tidak punya mimpi, tidak menuliskan wish listku.
Kalau boleh aku menuliskan satu keinginanku kala itu, aku hanya ingin masuk surga yang jelas hanya bisa ditempuh dengan pintu kematian. Aku sangat ingin mati.

***

Bahkan setelah minum obat sepuluh hari itu, dan melanjutkan minum obat untuk hari-hari berikutnya, nyatanya aku hanya berhasil membawa diriku masuk kerja selama satu atau dua minggu setelahnya, dan tidak hadir hingga dua bulan lamanya.

Aku dan ibu menyerah mempertahankan pekerjaanku, kata ibu, yasudah tidak apa dek dipecat, rejeki bisa datang darimana saja. Sebuah kalimat pelipur lara sebab kami cukup tahu diri. Walau kalimat itu pun terasa ragu untuk diucapkan.

Ritme hidupku kala itu adalah, aku bangun pukul 4 subuh, shalat subuh, dan terus terjaga sepanjang hari. 
Aku tidak lagi bisa tidur siang. Bayangkan! Aku yang begitu jatuh cinta pada tidur siang, aku yang bisa tertidur kapanpun dimanapun, menjelma menjadi sosok yang terus terjaga dan tidak bisa memejamkan mataku sebentar saja.
Aku tidak bisa lagi mencuci atau memasak. Bahkan kalau boleh tidak makan dan tidak mandi, mungkin aku juga tidak akan melakukan kegiatan itu.

Biasanya aku akan melamun, merenung, terpekur di pinggir kasur, menangis sampai pukul 7 pagi.
Aku bangun untuk makan pagi, tentu diawali dengan muntah-muntah dulu, baru aku bisa menelan satu sendok nasi. Nasi saja. Kadang aku campur sedikit air hangat biar mudah ditelan. Berat badanku turun drastis. Pipiku kian tirus, mataku cekung, badanku semakin ringan.

Setelah kegiatan makan yang terasa melelahkan, aku lantas mandi dan bersiap ikut ibu jaga warung.
Sepanjang pagi aku menemani tiduran (tiduran saja bukan tertidur) di warung di samping ibu, menonton drama cina lawas. Aku tidak protes sedikit pun. Aku hanya melamun. Aku tidak berminat main hp sama sekali.

Sebentar sebentar aku lihat hp hanya untuk melihat jam, sedetik kemudian ku lihat lagi. Begitu terus sepanjang waktu, aku terus mengecek saat ini jam berapa, aku terus menanti waktu isya. Kenapa isya? Karena setelah isya, aku bisa minum obat malam, dan tertidur sampai subuh. Hanya itu yang ku tunggu. Aku hanya hidup untuk menunggu keajaiban hari esok.

Ketakutan terbesarku saat itu adalah aku hampir kehilangan jiwaku sendiri, dalam artian gila
Aku takut aku gila, aku takut aku kehilangan kesadaranku.

Pikiran yang berisik, mata yang terjaga, hati yang berat. Telapak tanganku selalu berkeringat dingin, telapak kaki juga. Hal itu ku alami setiap waktu. Aku terus merasa gugup dan gelisah tanpa sebab. Aku tidak bisa duduk lama, tidak bisa berdiri lama, dan tidak bisa tiduran lama.

Masa-masa itu aku warnai dengan selalu menangis dan meminta maaf pada ibuku.
Ibuku jelas kelelahan, kebingungan, dan ketakutan.

Ibu sampai menyarankan untuk pergi berobat ke Banjarmasin. Entah berobat apa. Kami juga sama sama bingung. Ide itu hanya ide asal saja.

***

Puncaknya di satu siang setelah shalat dzuhur di hari jumat, aku bilang ke ibu, "aku nangis dulu ya sebentar". Ibu hanya diam. Aku menangis sampai lama, terus selesai, aku menyuruh ibuku gantian shalat. Ibu masuk rumah, tapi tidak lama ibu kembali dengan berlinangan air mata.
Ternyata ibuku sangat sangat kelelahan sekali melihat keadaanku setiap harinya yang tidak kunjung membaik. 

tbc ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bersyukur

Hari ini aku mengajar. Menjelaskan dengan suara lantang dan tangan yang ku masukkan di saku. Oh ayolah. Jangan kaku begitu. Jangan kamu bilang aku sombong karena gesture ini. Tangan yang dimasukkan ke saku...memang seenak itu! Rasanya letih sekali kalau harus kamu kritik hal itu. Di sela mengajar, Anak anak kelas lain lewat sambil menoleh ke kelasku, bergantian memberikan senyum untukku, atau melambai padaku. Pun ketika aku berjalan di koridor, sapaan, tawa, malu malunya mereka, hal remeh yang ternyata menyenangkan untuk dirasakan :) Semoga semua perlakuan itu tulus dari hati. Dengan begitu, hatiku juga bisa nyaman menerimanya. :) Terima kasih ya Allah. Aku bersyukur.

Kapsul Waktu Part 1 (Teknologi)

Membicarakan masa lalu memang seseru itu. Anak anak kelahiran tahun 90an pasti sangat relate. Tapi tidak banyak yang bisa berlama-lama membicarakan masa lalu lagi saat ini, waktu semakin menghimpit, beban semakin berat di pundak, banyak pekerjaan yang mencapai tenggat. Padahal seandainya mau meluangkan waktu, aku yakin waktu yang dibutuhkan untuk mengupas masa lalu tak akan pernah sebentar. Mari kita bercakap-cakap masa lalu yang luar biasa itu disini saja, sebab kini kita sudah kehilangan banyak kesempatan. Kali ini temanya teknologi, tapi mungkin tidak runut ceritanya, aku minta maaf dulu :D Dan semoga ada kesempatan berikutnya untuk kita membicarakan tema lainnya. *** Aku punya sebuah kotak kardus kecil di lemari, isinya adalah beberapa kenangan di waktu sekolah dulu. Saat aku menyimpannya, aku tak punya maksud apa-apa selain terlalu sayang untuk membuang benda tersebut. Tapi kini aku bersyukur masih memiliki benda-benda itu, aku seperti sedang mengubur kapsul waktu. Benda-benda itu...

Menciptakan Keberanian

Tahapan dalam hidup kadang memang seunik itu. Dan sungguh hidup bukanlah sebuah perlombaan. Setiap manusia memiliki garis waktunya masing masing. Aku menemukan banyak sisi lain dari diriku di tiap garis usiaku, dan itu berbeda dari teman sebayaku. Misalnya aku hari ini, di usia 30 tahunku, aku banyak berani melakukan sesuatu yang dulunya aku merasa malu untuk melakukannya. Hari ini aku senam pramuka bersama teman kantorku, Sekadar informasi, aku dulu tidak suka senam. Karena malu melakukan gerakan senam di hadapan banyak pasang mata yang memandang. Tapi kini, aku suka senam (yang gerakan dan musiknya memang sopan ya). Aku bersemangat melakukannya. Setelah senam, aku merasa free untuk melakukan kegiatan lainnya, aku membawa tali keluar kantor. Ternyata banyak temanku tertarik dan ingin mencoba. Aku akhirnya bermain bersama sama. Aku suka memberanikan diri bermain tali dan mengakui ketidakmampuanku dalam bermain. Dan itu tak apa, kami bersenang senang! Setelah main tali, aku memainkan ru...

Win Some and Lose Some

"That's how it is. You win some you lose some. That's how the world works. I don't have any regrets at all" Suga BTS said after their concert. Sederhananya kurang lebih, untuk mendapatkan sesuatu kita harus siap kehilangan yang lain. Aku merenung sebentar. Maksudku, ku pikir aku yang tidak bisa mengatur waktuku disini. Atau...aku yang salah dalam melangkah. Nyatanya, ini semua hanyalah sebuah hukum alam yang sulit tertampik. Aku sering merasa bersalah meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, kemudian di kamar sepanjang malam dan baru keluar kalau lapar. Rasa rasanya, aku tidak mampu kalau harus sekadar bercengkrama selepas maghrib di ruang tivi. Karena kantuk dan penat yang sangat rindu kasur. Apalagi kalau harus bekerja lagi  di rumah, seperti memasak, menyapu dan sebagainya. Di kantor semua energiku terkuras habis, tidak hanya di badan, di pikiran juga, pun di hati juga. Jadi pulang ke rumah, aku hanya ingin mengistirahatkan semua dan kemb...

Nilai Oh Nilai~

Sedang mengerjakan erapor, rutinitas tiap akhir semester. Bagian paling berat adalah menuliskan nilai jujur ke anak anak. Sebenarnya bukan pelit nilai sih, tapi ya apa adanya aja ke anak, dan sebenarnya pun kalau harus apa adanya, nilainya gak akan sebagus itu hahaha Kayak 70 pun jauh kali, realnya gak sampe 70. Terus juga mikirin efek psikologisnya ke anak anak, kalau dikasih nilai segini, nanti gimana ya efeknya? Makin semangat atau gimana ya? Mikir juga, nilai ulangannya jujur atau curang ya? Gak bisa mentah-mentah ngambil nilai ulangannya, kudu ditelusuri juga kesehariannya gimana, aktif gak? Lengkap gak tugasnya? Sama guru lain gimana? Hehehe Jadi kalau ada yang bilang ibu pelit nilai, sini ku kasih lihat real-nya nilai, dan perhitungan matematis dan pertimbangan attitudenya juga. Maka  kamu akan tercengang dengan nilainya :P Dan fyi aja, nilai nilai itu sudah digodok dengan lama, dipikirin minimal tiga kali banget, kadang diubah karena kasihan, kadang diubah karena banyak hal...

Himdeureo

Jalan ini sulit, Apakah akan terasa mudah jika melaluinya bersamamu? Aku sekarang tidak mahir membuat tulisan panjang lebar lagi, mungkin karena aku tidak punya objek dalam tulisan ini. Tak ku tujukan pada siapapun, tak ku sematkan untuk siapapun. Tulisan tulisan tak bertuan. Miliki saja bila kau ingin. *** Aku ada disini. Dalam ratusan tulisan yang bisa kau baca tiap hari. Kau bisa mampir jika ingin. Kau bisa membacanya jika rindu. Seolah aku sedang bercakap di depanmu. Kau bisa membawaku dalam semua kegiatanmu. Saat kau menunggu antrian, saat kau sedang bosan, saat kau akan tidur. Aku selalu ada. Tapi bagiku, kau tidak ada dimanapun. Kau tidak bisa ku temukan dalam apapun. Kau tidak akan pernah hadir walau ku cari bertahun tahun. *** Aku membencimu, sebanyak aku ingin melupakanmu.

B E I N G G R A T E F U L

Aku begitu mencintai setiap fase hidupku. 30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.  Lahir sebagai bayi normal nan sehat. Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang. Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku. Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku. Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat. Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti. Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik. Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik. Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal. Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Dilindungi dengan cinta dan harapan. Direngkuh dengan kasih dan sayang.

Takdir

Ada yang mengejarku selama ini, aku menghindar. Entah apa yang salah, mungkin aku membenci caranya mendekatiku. Setiap perhatiannya memuakkan. Aku juga kebingungan dengan diriku ini. Ternyata memaksakan diri jatuh cinta memang tidak mudah. Mungkin begitulah aku di matamu? Seketika itu aku bercermin. Melihat pantulan diriku yang begitu hebat masih mengejarmu. Mungkin kamu sangat terganggu dan kebingungan menghindariku. Dasar aku, kamu, dan takdir ini.
Mau produktif menulis, tapi makin kesini makin membuncah rasa malasku, Hati yang khawatir, cemas berkepanjangan, tiba tiba datang menyerang, Aku ingin produktif, tapi terlalu malas

Surat Terbuka untuk Kelas XII 2018

Demi menulis apa yang sedang menyesaki kepala, sampai rela meninggalkan soal ulangan yang padahal dikejar deadline. Bismillahirrahmanirrahim... Jadi, malam ini, Nak. Postingan ini ditujukan untuk kalian anak-anak ibu yang lucu dan menggemaskan (pada akhirnya kalian menjadi lucu dan menggemaskan bagi ibu). To be honest , jarang sekali momen paska perpisahan itu baper ya, sampai-sampai tertuang di blog ini. Tapi mungkin dua tahun cukup lah sebagai pertimbangan kenapa kalian agak berkesan hingga akhirnya ibu rela menuliskan surat ini disini.