Bismilahirrahmanirrahim
Ditulis selepas shalat maghrib.
***
Berbagai metode dan pendekatan sejatinya sudah pernah ku jajal.
Mulai dari ruqyah syyariah bersama ustadz, dibacakan doa oleh ibuku sendiri, dibuatkan air doa dari air wudhu oleh ibuku sendiri, diberi tips dzikir oleh suami sepupuku, dibawakan air zam-zam dari temanku, dibawa ke psikiater, diskusi dengan psikolog, bahkan juga mencoba hipnoterapi.
Tapi khusus hipnoterapi aku pribadi sangat tidak menyarankan. Karena menurut ust Zaidul Akbar pun beliau tidak membolehkan. Padaku juga dampaknya langsung terasa, kambuh maag-ku sepulang dari sana, dan keadaanku semakin memburuk. Awalnya aku masih bisa makan minum dan kerja, setelah sesi hipnoterapi justru aku muntah-muntah, diare, sekujur tubuhku dingin dan ngilu.
Banyak sekali naik turun terjalnya perjalananku.
Sulit untuk ku ungkap secara detail, saking ruwet dan kompleksnya.
Aku masih terus menemui psikiater hingga awal bulan maret. Di konselingku, beliau bertanya "Gimana keadaan satu minggu terakhir ini?"
Aku menunduk sambil bercerita, "Saya down pak, kenapa ya? Saya kemarin ada hipnoterapi, pulangnya langsung memburuk keadaan saya. Waktu saya ke psikolog juga, saya justru memburuk"
Dokternya dengan tenang menjelaskan, "Mbak tau kan per? Per itu melingkar terus sampai naik ke ujung, tidak seperti tangga, per itu rutenya berbeda. Per itu melingkar terus, naik dan terus naik. Mbak itu seperti mengganggap diri mbak bodoh, kok aku nggak bisa bisa ya? kok aku nggak kayak orang orang yang bisa? Padahal mbak sebenarnya mengalami peningkatan ..."
Aku menangis.
Beliau melanjutkan "... tapi kemajuan dan peningkatannya sulit untuk dilihat oleh diri sendiri. Seperti anak kecil yang diajari matematika, kok kayak nggak bisa bisa, padahal ada kok kemajuannya, tapi memang nggak keliatan jelas."
Aku suka mendengar penjelasannya, menenangkan dan melegakan.
***
Mbak Yati, atau semestinya ku panggil ibu Yati, beliau seorang ibu bercadar yang memiliki anak laki-laki. Anaknya takut mengendarai motor sampai beberapa waktunya lamanya. Ketakutan yang mirip sepertiku.
Pada masa aku sakit, ibu Yati diundang ibuku ke rumah untuk bertemu aku. Beliau cukup menguatkan aku dan menceritakan bahwa anaknya sudah sembuh dan tidak takut lagi. Obatnya tauhid. Didoakan, diulang-ulang disampaikan nasehat baik dan dikuatkan terus. Lambat laun anaknya menjadi berani dan berdaya.
Mbak Lina atau ibu Lina, seorang ibu yang sempat takut mati saat musim covid 2022 lalu. Beliau terus ketakutan, bahkan takut pula mendengar ada bunyi orang sedang mencangkul. Dia mengira bahwa ada yang sedang menggali kubur untuknya. Ketakutan itu nyata dialami selama tiga bulan lamanya. Bagaimana sembuhnya? Tentu atas ijin Allah, sembuh tanpa perantara apapun, sembuh sendiri.
Dan kini ibu Lina sedang menyetir mobil, duduk di sampingnya ada ibu Nurul. Berdua mereka mengantarkan aku dan ibu menemui seorang ustadz kenalannya.
Beliau bercerita bagaimana kalutnya dan pedihnya masa-masa itu, tapi beliau menguatkan dan bilang, nih lihat sudah tidak papa, ketika itu saya tersadar, ngapain saya terus takut? saya pukul dada saya, saya bilang saya harus kuat!
Beberapa hari setelah pulang dari psikiater adalah hari dimana ibu menangis usai melihat aku tidak kunjung membaik itu. Kemudian ibu mengirim wa pada ibu Lina dan menceritakan keadaanku. Hingga ibu Lina menawarkan mengantarkan aku ke rumah ustadz kenalannya.
Sesampainya disana aku hanya bersandar lemas di dinding, duduk dengan tatapan kosong. Tanpa perlu penjelasan apapun dariku, ustadznya sudah tau apa yang terjadi padaku. Ia menjelaskan sesi terapi yang harus ku jalani.
Aku pun menjalani sesi terapi yang melelahkan dengan didampingi ibu selama beberapa hari.
Sungguh rasanya seperti mimpi.
Rumah ustadznya jauh sekali, di lingkar luar, banyak truk besar lalu lalang. Rasanya seperti berada di kota lain. Kami menghabiskan beberapa malam di sana, jujur sangat sangat melelahkan, sebab kami kurang istirahat. Ingatanku tentang keadaan di sana masih membekas. Udara malam dan subuhnya masih kental terasa.
Hari demi hari aku menunjukkan kemajuan yang berarti. Aku mulai punya selera makan setelah menjelang siang dan malam. Aku mulai bisa makan nasi padang setengah bungkus. Aku bisa makan pentol dan minum teh tarik.
Tapi aku sempat drop karena kelelahan dan komplikasi obat yang ku minum. Aku nyaris terdiagnosa kanker atau tumor.
Aku sampai harus menjalani USG dan beberapa tes di rumah sakit.
Tidak terhitung berapa kali kami ke rumah sakit selama aku dinyatakan menderita anxiety disorder, bolak balik, dari pagi sampai sore hari. Sudah lelah sekali rasanya kakiku.
Banyak obat yang ku minum.
Tapi alhamdulillah aku hanya komplikasi obat saja, bukan kanker.
Sesi terapi yang ku jalani di rumah ustadz itu mengharuskan aku dan ibu berangkat setelah isya dan pulang setelah subuh. Aku mengamati lalu lintas malam hari dan subuh hari yang terasa menyesakkan.
Tapi aku menyadari aku semakin membaik. Aku pun sudah berani lepas obat. Walau di awal awal aku selalu terbangun malam tiap beberapa belas menit sekali, tapi lama kelamaan tidurku sudah nyenyak.
Aku ingat subuh hari itu, aku pulang sambil menenteng sebungkus nasi kuning lauk telur yang ku beli di dekat rumahku. Aku makan dengan lahap tanpa muntah atau mual.
Kemajuan demi kemajuan yang ku alami, ku tuliskan dalam sebuah story WA yang ku bagikan ke beberapa teman dekatku.
Aku bisa menghabiskan nasi kuning, tulisku.
Aku bisa naik motor lagi, tulisku di hari berikutnya.
Aku bisa tidur siang sendiri,
Aku bisa shalat sendiri,
Hari ini aku memasak menu berbuka,
Aku tadi pergi ke toko,
Aku nonton drama korea!
Dan banyak kemajuan kecil yang ku tulis, yang menurutku luar biasa.
Jatuh bangunnya sudah pasti ada, misal aku mulai sesenggukan lagi, takut, tapi tak apa, itu adalah hal yang wajar terjadi.
***
Tapi Allah tidak ingin aku bergantung pada makhluknya.
Banyak sekali hal krusial yang cukup menyulitkan selama sesi terapi, hingga aku dan ibu memutuskan menyudahi sesinya. Jujur aku khawatir kambuh lagi, karena kini aku sendiri. Tapi aku percaya bahkan tanpa perantara siapapun, kalau sudah waktunya sembuh, Allah akan sembuhkan dengan caraNya.
Bulan puasa itu aku berlindung dari kekhawatiran dan kecemasanku. Aku menjalani hariku perlahan-lahan. Seperti bayi yang tidak tau apa-apa. Aku banyak belajar.
Aku seperti punya otak yang di-reset. Aku jadi lupa banyak hal. Termasuk lupa, bahwa tiap orang punya waktunya masing-masing untuk sembuh. Aku masih lemah sekali saat itu, aku beruntung memiliki banyak nasehat dan masukan dari teman-teman baikku.
Aku belajar naik motor sendiri, lama kelamaan aku mulai kembali menjadi diriku seperti sedia kala.
Aku belajar mengesampingkan ketakutanku.
Lama sekali progresnya, dan berjalan begitu lambat.
Tapi tak apa, take your time as much as you need, kata orang bijak.
Aku meyakini momenku ini bagai makna surah Ad Dhuha, kata ust Adi Hidayat, semakin pekat masalahnya, semakin pekat bagai malam, justru itu pertanda sebentar lagi akan menemukan waktu subuh, sebentar lagi akan menemukan kehangatan waktu dhuha.
Comments
Post a Comment