Rasanya aku dulu pernah memikirkan ide ini dan ku tulis. Entah kenapa dicari cari kok tidak ketemu. Anyway, akhirnya dengan segala kemurahan hatiku, ku tuliskan saja kembali.
Ide tulisan ini muncul ketika aku sedang mengantre di klinik dokter, beberapa tahun silam. Sambil duduk dengan gelisah, aku memperhatikan orang orang yang sakit. Beberapa tampak mengobrol. Ada juga yang menenangkan anaknya dalam gendongan. Ada juga yang terpekur memandangi telepon pintarnya. Banyak juga yang diam tidak melakukan apa apa.
Aku mengalihkan pandangan. Tidak banyak juga yang bisa diperhatikan di sini. Hanya jendela tinggi dan dinding klinik yang dicat putih membentang di hadapan, dimana salah satu sudutnya terpasang poster diare. Ada tangga menuju ke klinik atas. Sepertinya klinik anak dan gigi.
Juga pintu pintu ruangan klinik lain yang kosong.
Ah.
Begitulah jiwa penulis. Dimanapun kapanpun, ide selalu hadir tanpa permisi.
Di saat orang lain bengong, otakku justru sibuk memaknai tiap peristiwa yang ada di hadapan.
Bahkan saat sakit pun, kata demi kata sibuk terjalin satu persatu menjadi sebuah cerita.
The art of noticing, kalau kata orang orang.
Seni memperhatikan.
Tidak banyak juga yang bisa demikian.
***
Pukul tujuh tepat.
Semestinya sang dokter sudah memulai praktiknya.
Tapi tentu bukan dokter kalau selalu tepat waktu.
Ada banyak hal hal yang terjadi tiba tiba. Entah ada pasien darurat, entah ada kejadian apa saja, yang membuat beliau jadi kesulitan on time.
Aku memakluminya.
Tapi tidak dengan badanku yang semakin tidak nyaman.
Rasanya tiap detik yang berjalan begitu menyiksa.
Seberkas cahaya matahari menembus jendela klinik tanpa tirai. Rasa panas khas pukul tujuh pagi.
Biasanya jam segini, aku sedang mengajar di kelas, atau menyarap di kantorku, dengan suguhan pemandangan anak anak yang berlarian olahraga di lapangan, atau mereka yang di kelas sedang menulis materi yang ku jelaskan, atau yang sibuk berbisik bisik berceloteh panjang lebar.
Kesibukan pagi seperti biasa.
Tak jarang juga aku masih terjebak di jalan menuju kantor, karena aku tidak mengajar jam pagi.
Pukul tujuh pagi orang lain pun tentu tak sama.
Ada yang sedang di pasar berbelanja, ada pula yang baru menggelar dagangannya, kadang ada yang baru berangkat bekerja ke kantornya, ada pula yang sedang menyesap kopi pahitnya di lapangan.
Pukul tujuh pagi yang beragam.
Apakah kamu pernah memperhatikan pukul tujuh pagi di rumah sakit?
Ada beberapa cleaning service sedang mengepel lantai, dokter yang mulai memasang jasnya dan mengecek berkas pasien pasien, satpam yang berjaga, perawat yang berganti shift.
Kamu akan menemukan perawat yang baru datang dengan wajah segar dan pafum yang menguar atau yang baru akan pulang dengan tampilan kusut karena kelelahan.
Ada pasien yang sedang melamun, ada yang ceria, ada yang sedang puasa karena akan operasi, ada yang mengemil. Macam macam yang bisa kamu lihat.
Itu di rumah sakit.
Bagaimana dengan di lapas?
Karena aku tidak pernah kesana, jadi aku tidak tau.
Tapi mungkin kita akan melihat sipir penjara yang lalu lalang, para napi yang mengobrol, atau entahlah.
Kembali ke klinikku tadi. Aku sudah dipanggil ke ruang dokter.
Dokternya tampak sabar namun tergesa gesa. Ingin segera menyuruh aku selesai. Sebab ada banyak pasien lain yang menunggu.
Hehe
Aku tidak banyak bertanya. Hanya duduk manis mendengarkan penjelasan beliau.
Ku lihat wajah beliau segar sekali dan tampak fit. Sangat menyenangkan melihat dokter ya? Sepertinya mereka selalu sehat dan bugar. Tidak seperti pasiennya yang kuyu.
Dengan semua kesibukan beliau, beliau pasti sudah sarapan dan siap menghadapi dunia.
Beda dengan aku yang kerap kehilangan selera makan, apalagi hari ini.
***
Pagi ini tentu berbeda.
Tapi begitulah dunia. Tidak mungkin selalu sama.
Pagi ini aku pulang dari klinik dengan menenteng bungkusan obat.
Padahal pagi sebelumnya aku membawa buku tulis anak anak yang akan ku koreksi sambil mengajar di kelas.
Kehilangan sesuatu membuat kita jadi belajar menghargainya, bukan?
Seperti kehilangan rutinitas.
Rutinitas yang itu itu saja tentu membosankan ketika dijalani.
Tapi, setidaknya lebih baik daripada harus seperti ini.
Sama halnya saat aku sedang bersender di bangku panjang depan IGD, karena menunggu bapak sakit.
Pukul tujuh pagi itu terasa suram.
Atau saat aku menatap matahari terbit yang menyombongkan dirinya dari jendela lantai 5, saat aku sedang duduk berselonjor di atas dipan rumah sakit. Menggendong keponakanku yang masih tertidur pulas setelah semalaman menangis.
Pukul tujuh pagi yang diwarnai dengan kantuk dan suntuk.
***
Kesibukan yang kamu rutuki tiap hari, adalah kesibukan yang ingin orang lain rasakan.
:)
Mari bersemangat menyambut pukul tujuh pagi kita!
Walau kegiatannya itu itu saja.
Komentar
Posting Komentar