Langsung ke konten utama

Ketinggalan Jaman

Pengumuman kelulusan yang entah kenapa selalu identik dengan aksi corat coret baju kemudian konvoi.

Tahun 2011 yang lalu. Saat pengumuman kelulusan dilaksanakan. Sebenarnya sekolah pun melarang kami corat coret baju. Karena apa? Ya jelas karena tidak ada manfaatnya.
Tapi sebagian besar dari kami tetap saja mewarnai baju kami dengan pylox dan kesana kemari mengedarkan tanda tangan. Aksi itu dilaksanakan di sekolah, dan guru-gurunya ada. Mungkin mereka akhirnya mengalah dan memaklumi kenekatan kami.

Namun di sudut, ada beberapa dari kami yang lebih memilih untuk main game dan membiarkan seragamnya tetap polos. Tutup mata dengan keramaian di depannya. Asik dengan dunia mereka.

Di jamanku sekolah, mungkin aksi corat coret baju sekolah masih in.

Tapi untuk sekarang, kenapa kesannya kurang oke ya? Apa mungkin karena aku sudah melalui jaman itu? Apa faktor usia? Apa karena aku sudah menyadari sepenuhnya bahwa aksi itu sangat tidak manfaat? Apa karena it's boring?

Entahlah.

Saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi yang luar biasa, pengumuman dilaksanakan daring. Walaupun mengurangi euforia melihat anak anak sujud syukur dan saling berpelukan penuh haru biru di lapangan, tapi setidaknya ini mencegah anak anak merayakan kelulusan dengan mewarnai baju mereka.

Back to 2011 at SMANSA.
Kala itu seluruh kelas XII dikumpulkan di lapangan basket. Duduk manis bermandikan terik matahari. Kemudian guru guru bergantian memberikan pengarahan. Tak lupa kanan kiri sudah siap sedia petugas PMR, kalau kalau ada siswa yang pingsan.
Suasana khidmat. Walaupun ada adik adik kelas yang berhamburan di teras, berjubel penasaran melihat nasib kakak kakak kelasnya.

Suasananya serba gugup, takut, dan cemas.

Kemudian sebuah baliho besar dibentangkan. Tulisannya "Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Seluruh Kelas XII SMA Negeri 1 Sampit Dinyatakan Lulus 100%".
Langsung semua anak sujud syukur. Berjabat tangan. Berpelukan. Ada yang menjauh dari keramaian menelpon orang tuanya. Ada yang berlari menghambur ke pelukan guru-gurunya. Semua berbahagia. Bahkan petugas PMR di sekeliling pun bertepuk tangan riuh, lega, lega karena tidak harus menggotong kakak kakaknya yang pingsan.

Hingga di menit berikutnya, beragam cat warna membumbung di udara. Siap menorehkan warna di baju putih abu-abu. Semua anak siap dengan spidol mereka. Bahkan gurunya pun dikejar diminta untuk tanda tangan di seragam mereka.


Anehnya guru-guru tidak marah. Mereka justru ikut berpartisipasi meramaikan seragam kami. Memberikan ucapan selamat.

Mungkin karena kami pun tidak melakukan hal aneh selain corat coret. Ya maksudku, tidak ada satu pun dari kami yang merobek roknya kemudian berfoto. Tidak ada satu pun dari kami yang mengeluarkan minuman keras sebagai pelengkap perayaan. Tidak ada satu pun dari kami yang berpose aneh aneh. Kami hanya mewarnai seragam.

Kini, setelah 8 tahun berlalu. Seragam warna warni itu masih terlipat rapi di bagian paling aman dalam lemari. Tidak ada niatan untuk membukanya. Karena kenangan di dalamnya selamanya hanyalah kenangan.

Sekarang aksi itu kesannya negatif. Kenapa? Lihat saja foto foto yang tidak senonoh yang menjamur di sosial media. Aksi corat coret baju dengan belahan rok siswa yang sampai paha. Belum lagi baju yang dikecilkan yang tidak sesuai dengan juknis seragam sekolah. Aksi corat coret sambil menghirup vapor. Aksi corat coret sambil mengisap rokok. Dan masih banyak lagi perilaku negatif lainnya.

Melihat anak-anak (yang katanya kekinian) melakukan aksi serupa, aku justru prihatin. Kenapa sudah 8 tahun berlalu, masih begini begini saja perayaan kelulusan?

Dan yang membuat prihatin, mereka sengaja pergi menjauh dari lingkungan sekolah, mencoret baju mereka, tapi fotonya justru diupload di sosial media. Ironis. Apakah sebesar itu keinginan untuk dicap "kekinian"?

Anak sekarang seharusnya membuat tren lebih keren daripada corat coret baju. Kenapa masih saja mencontek tradisi lama?

Corat coret baju dan konvoi itu ketinggalan jaman. Kenapa tidak mencoba hal baru, misalnya melakukan bakti sosial, membagikan nasi 1000 bungkus? Apalagi ini bulan ramadhan. Kan momen yang luar biasa untuk beramal?

Duhai generasi milenial.

Kalian mengaku milenial, tapi justru ketinggalan jaman.

Dari: aku seniormu yang dulu pernah lulus SMA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bersyukur

Hari ini aku mengajar. Menjelaskan dengan suara lantang dan tangan yang ku masukkan di saku. Oh ayolah. Jangan kaku begitu. Jangan kamu bilang aku sombong karena gesture ini. Tangan yang dimasukkan ke saku...memang seenak itu! Rasanya letih sekali kalau harus kamu kritik hal itu. Di sela mengajar, Anak anak kelas lain lewat sambil menoleh ke kelasku, bergantian memberikan senyum untukku, atau melambai padaku. Pun ketika aku berjalan di koridor, sapaan, tawa, malu malunya mereka, hal remeh yang ternyata menyenangkan untuk dirasakan :) Semoga semua perlakuan itu tulus dari hati. Dengan begitu, hatiku juga bisa nyaman menerimanya. :) Terima kasih ya Allah. Aku bersyukur.

Kapsul Waktu Part 1 (Teknologi)

Membicarakan masa lalu memang seseru itu. Anak anak kelahiran tahun 90an pasti sangat relate. Tapi tidak banyak yang bisa berlama-lama membicarakan masa lalu lagi saat ini, waktu semakin menghimpit, beban semakin berat di pundak, banyak pekerjaan yang mencapai tenggat. Padahal seandainya mau meluangkan waktu, aku yakin waktu yang dibutuhkan untuk mengupas masa lalu tak akan pernah sebentar. Mari kita bercakap-cakap masa lalu yang luar biasa itu disini saja, sebab kini kita sudah kehilangan banyak kesempatan. Kali ini temanya teknologi, tapi mungkin tidak runut ceritanya, aku minta maaf dulu :D Dan semoga ada kesempatan berikutnya untuk kita membicarakan tema lainnya. *** Aku punya sebuah kotak kardus kecil di lemari, isinya adalah beberapa kenangan di waktu sekolah dulu. Saat aku menyimpannya, aku tak punya maksud apa-apa selain terlalu sayang untuk membuang benda tersebut. Tapi kini aku bersyukur masih memiliki benda-benda itu, aku seperti sedang mengubur kapsul waktu. Benda-benda itu...

Menciptakan Keberanian

Tahapan dalam hidup kadang memang seunik itu. Dan sungguh hidup bukanlah sebuah perlombaan. Setiap manusia memiliki garis waktunya masing masing. Aku menemukan banyak sisi lain dari diriku di tiap garis usiaku, dan itu berbeda dari teman sebayaku. Misalnya aku hari ini, di usia 30 tahunku, aku banyak berani melakukan sesuatu yang dulunya aku merasa malu untuk melakukannya. Hari ini aku senam pramuka bersama teman kantorku, Sekadar informasi, aku dulu tidak suka senam. Karena malu melakukan gerakan senam di hadapan banyak pasang mata yang memandang. Tapi kini, aku suka senam (yang gerakan dan musiknya memang sopan ya). Aku bersemangat melakukannya. Setelah senam, aku merasa free untuk melakukan kegiatan lainnya, aku membawa tali keluar kantor. Ternyata banyak temanku tertarik dan ingin mencoba. Aku akhirnya bermain bersama sama. Aku suka memberanikan diri bermain tali dan mengakui ketidakmampuanku dalam bermain. Dan itu tak apa, kami bersenang senang! Setelah main tali, aku memainkan ru...

Win Some and Lose Some

"That's how it is. You win some you lose some. That's how the world works. I don't have any regrets at all" Suga BTS said after their concert. Sederhananya kurang lebih, untuk mendapatkan sesuatu kita harus siap kehilangan yang lain. Aku merenung sebentar. Maksudku, ku pikir aku yang tidak bisa mengatur waktuku disini. Atau...aku yang salah dalam melangkah. Nyatanya, ini semua hanyalah sebuah hukum alam yang sulit tertampik. Aku sering merasa bersalah meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, kemudian di kamar sepanjang malam dan baru keluar kalau lapar. Rasa rasanya, aku tidak mampu kalau harus sekadar bercengkrama selepas maghrib di ruang tivi. Karena kantuk dan penat yang sangat rindu kasur. Apalagi kalau harus bekerja lagi  di rumah, seperti memasak, menyapu dan sebagainya. Di kantor semua energiku terkuras habis, tidak hanya di badan, di pikiran juga, pun di hati juga. Jadi pulang ke rumah, aku hanya ingin mengistirahatkan semua dan kemb...

Nilai Oh Nilai~

Sedang mengerjakan erapor, rutinitas tiap akhir semester. Bagian paling berat adalah menuliskan nilai jujur ke anak anak. Sebenarnya bukan pelit nilai sih, tapi ya apa adanya aja ke anak, dan sebenarnya pun kalau harus apa adanya, nilainya gak akan sebagus itu hahaha Kayak 70 pun jauh kali, realnya gak sampe 70. Terus juga mikirin efek psikologisnya ke anak anak, kalau dikasih nilai segini, nanti gimana ya efeknya? Makin semangat atau gimana ya? Mikir juga, nilai ulangannya jujur atau curang ya? Gak bisa mentah-mentah ngambil nilai ulangannya, kudu ditelusuri juga kesehariannya gimana, aktif gak? Lengkap gak tugasnya? Sama guru lain gimana? Hehehe Jadi kalau ada yang bilang ibu pelit nilai, sini ku kasih lihat real-nya nilai, dan perhitungan matematis dan pertimbangan attitudenya juga. Maka  kamu akan tercengang dengan nilainya :P Dan fyi aja, nilai nilai itu sudah digodok dengan lama, dipikirin minimal tiga kali banget, kadang diubah karena kasihan, kadang diubah karena banyak hal...

Himdeureo

Jalan ini sulit, Apakah akan terasa mudah jika melaluinya bersamamu? Aku sekarang tidak mahir membuat tulisan panjang lebar lagi, mungkin karena aku tidak punya objek dalam tulisan ini. Tak ku tujukan pada siapapun, tak ku sematkan untuk siapapun. Tulisan tulisan tak bertuan. Miliki saja bila kau ingin. *** Aku ada disini. Dalam ratusan tulisan yang bisa kau baca tiap hari. Kau bisa mampir jika ingin. Kau bisa membacanya jika rindu. Seolah aku sedang bercakap di depanmu. Kau bisa membawaku dalam semua kegiatanmu. Saat kau menunggu antrian, saat kau sedang bosan, saat kau akan tidur. Aku selalu ada. Tapi bagiku, kau tidak ada dimanapun. Kau tidak bisa ku temukan dalam apapun. Kau tidak akan pernah hadir walau ku cari bertahun tahun. *** Aku membencimu, sebanyak aku ingin melupakanmu.

B E I N G G R A T E F U L

Aku begitu mencintai setiap fase hidupku. 30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.  Lahir sebagai bayi normal nan sehat. Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang. Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku. Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku. Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat. Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti. Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik. Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik. Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal. Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Dilindungi dengan cinta dan harapan. Direngkuh dengan kasih dan sayang.

Takdir

Ada yang mengejarku selama ini, aku menghindar. Entah apa yang salah, mungkin aku membenci caranya mendekatiku. Setiap perhatiannya memuakkan. Aku juga kebingungan dengan diriku ini. Ternyata memaksakan diri jatuh cinta memang tidak mudah. Mungkin begitulah aku di matamu? Seketika itu aku bercermin. Melihat pantulan diriku yang begitu hebat masih mengejarmu. Mungkin kamu sangat terganggu dan kebingungan menghindariku. Dasar aku, kamu, dan takdir ini.
Mau produktif menulis, tapi makin kesini makin membuncah rasa malasku, Hati yang khawatir, cemas berkepanjangan, tiba tiba datang menyerang, Aku ingin produktif, tapi terlalu malas

Surat Terbuka untuk Kelas XII 2018

Demi menulis apa yang sedang menyesaki kepala, sampai rela meninggalkan soal ulangan yang padahal dikejar deadline. Bismillahirrahmanirrahim... Jadi, malam ini, Nak. Postingan ini ditujukan untuk kalian anak-anak ibu yang lucu dan menggemaskan (pada akhirnya kalian menjadi lucu dan menggemaskan bagi ibu). To be honest , jarang sekali momen paska perpisahan itu baper ya, sampai-sampai tertuang di blog ini. Tapi mungkin dua tahun cukup lah sebagai pertimbangan kenapa kalian agak berkesan hingga akhirnya ibu rela menuliskan surat ini disini.