Bismillahirrahmanirrahim...
Baca dulu part sebelumnya ya, part 1, part 2, dan part 3.
Hari-hari berjalan perlahan.
21 Maret itu aku mulai memberanikan diri jalan berdua dengan temanku ke kafe di kota kami. Pagi-pagi kami sudah duduk manis memesan es stroberi dan nasi goreng. Kafe-nya masih sepi. Sejak itu, aku mulai berani membuka diri di keramaian (yang sepi).
Selama sakit aku sama sekali tidak keluar rumah untuk main, pikiranku runyam sekali, aku lebih suka tiduran di samping ibuku. Dan kini aku menatap jalan raya dari balik jendela kafe. Ah. Menyenangkan bisa kembali setelah nyaris kehilangan diriku.
Setelah dari kafe, kami ke miniso, kemudian jalan memutari sebuah kebun hijau. Aku bersyukur untuk banyak hal.
Aku mulai kembali kerja lagi. Walau masih tertatih. Atasanku sangat bijaksana saat itu, beliau memberikan aku ruang dan waktu hingga pemulihanku. Beliau tidak menuntut banyak hal.
Aku menjalani hari yang terik dan hujan yang dingin. Ku nikmati tiap detailnya dengan baik.
Bulan puasa, kantor mengadakan acara berbuka yang biasanya tidak ku ikuti. Tapi kali itu, aku ikuti dengan bersemangat. Pulangnya aku naik motor sendiri sambil kegerimisan. Teman teman baikku menanyakan bagaimana keadaanku saat pulang, aku bersyukur (lagi) dengan perhatian itu.
Tidak lama setelah lebaran, tepatnya di bulan mei, aku mendapat panggilan kuliah PPG.
Aku lega hanya perlu membuat surat berbadan sehat, bukan surat kejiwaan sehat. Hehe. Walau seyogyanya aku memang bisa dikatakan sudah sehat.
Ku jalani PPG dengan kesulitannya, tapi aku sangat bersyukur (lagi dan lagi) panggilan PPG datang di saat yang sangat tepat. Saat aku perlu pengalih perhatian dan kesibukan baru.
Aku sangat ceria dan positif di depan kamera zoom, sampai dua orang teman PPG-ku mengirim kesan kekagumannya padaku. Dengan malu-malu ku ungkapkan keadaanku yang sebenarnya. Tapi dewasa ini mental illness bukanlah sesuatu hal yang tabu, semakin banyak informasi terbuka lebar, orang-orang semakin paham dan maklum. Aku senang tidak salah cerita pada mereka. Mereka yang kemudian menguatkan aku, menjadi tempat berkeluh kesah dan saling berbagi semangat. Hingga selesailah masa PPG-ku.
***
Penyakit mental seperti penyakit lain, seperti flu atau demam. Memang untuk penyakit mental, lebih kasat mata. Dari luar terlihat 'baik', bisa jadi di dalamnya hancur. Siapa saja bisa terjangkit, sekuat apapun keimanannya. Maka kalimat judgemental bisa menjadi pedang tajam yang menyakiti siapapun yang sedang berjuang dengan penyakit ini.
Kalimat seperti kamu kurang bersyukur, kamu kurang beriman, sudah lupakan saja, jangan cengeng, jangan aneh-aneh, coba kamu sering istighfar dan beragam kalimat lainnya, semua ini sangat menyakitkan.
Kalimat itu mungkin memang kebenaran, tapi tidak pada tempatnya.
Mereka yang sakit mental, sudah menahan sakit dan merasa malu meminta bantuan. Mereka menganggap penyakit kejiwaan ini aib, karena seringkali tanpa sadar penyakit ini pun telah menjadi bahan tertawaan. Kami malu, kami tidak ingin menjadi tertawaan, kami tidak ingin dicap kurang bersyukur atau kurang beriman dan sederet kecemasan lain.
Penyakit ini pelik sekali, berbahaya sekali, dan sangat sangat menyakitkan.
Bahkan setelah berani meminta bantuan profesional dan dinyatakan sakit oleh dokter pun, masa-masa pemulihan adalah tantangan berikutnya. Kamu kok nggak sembuh-sembuh? Kamu harus melawan, kamu harus berani yang padahal pasien adalah satu-satunya orang yang palinnngggggg ingin sembuh. Kenapa belum sembuh? Ya karena tiap kesembuhan membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Tidak sama tiap orang. Pertanyaan itu justru semakin membuat pasien tertekan dan menyalahkan dirinya sendiri.
***
Kenapa ya kita bisa sakit mental?
Banyak sekali faktornya, memang tidak ujug-ujug sakit. Bisa jadi karena ada trauma, rumah yang tidak hangat, konflik berkepanjangan, duka yang mendalam, kelelahan berkepanjangan, menyimpan banyak emosi, shock berlebih, tekanan, lingkungan tidak kondusif, pengaruh sosial media, pengaruh tv dsb. Tiap orang bisa berbeda-beda.
Kejadian kejadian menyakitkan dan semua faktor ini seperti bom waktu. Maka saat semuanya menumpuk dan tidak dikelola dengan baik, sedikit saja tersulut sebuah trigger atau pemicu, maka bom!
***
Setelah membaca kisah ini, aku sangat berharap kalian tidak lagi malu pernah sakit atau sedang sakit mental. Menyakitkan memang, aku adalah orang yang paling tau bagaimana keadaan kalian saat ini. Seberapa sakit dan menderitanya, melalui malam-malam gelap yang dingin, menanti pagi dengan penuh harap. Apalagi kalau melaluinya sendirian.
Aku dan kalian sudah masya Allah hebat bisa bertahan sampai hari ini.
Apakah bisa sembuh? Aku adalah bukti nyatanya. Aku, anaknya ibu Yati dan ibu Lina (yang sudah kuceritakan di part sebelumnya) adalah segelintir survivor mental illness. Maka, apakah kami tidak cukup untuk menguatkan harapmu?
Jangan pernah berhenti berharap, kan kita punya Allah, ada aku juga disini sebagai teman yang bisa kalian baca, atau kalian sapa. Aku tau bahwa kita mampu melewati hardest part dalam hidup kita ini.
Tentu semua hal yang terjadi pasti ada hikmahnya, aku kini menuliskan pengalamanku sebagai penguat bagi kalian yang mungkin sedang mengalaminya, dan mungkin ini sebagian kecil hikmah yang bisa ku ambil dari lukaku.
Hikmah besar masih ada, masih menanti, entah akan diberikan kapan. Aku akan dengan tidak sabar menunggunya, aku yakin kalian juga tidak sabar menanti hikmah milik kalian kan?
Setiap manusia harus melalui ujian agar bisa naik kelas atau mendapat hadiah.
Allah sudah memberikan ujian ini, mari menunggu hadiah apa ya yang akan Allah beri?
Aku menunggu hadiah itu :) Aku sangat bahagia kalau kalian juga menunggunya. Hadiahnya pasti luar biasa.
Kalau kalian sedang menderita sekali, melalui masa berat ini, kadang hal yang paling sederhana yang perlu kalian lakukan adalah dengan tidak melakukan apa apa.
Tidak perlu memaksakan diri melakukan sesuatu hal hal besar, bahkan hanya dengan makan minum tidur saja, itu tak apa. Lakukan saja terus, tunggu hari esok, tunggu lagi, dan terus tunggu hingga badainya terlewati. Aku pun sempat mengalami fase itu, fase tidak melakukan apa apa.
Setiap kalian tau kapasitas diri kalian, kalau kalian mampu melakukan hal hal positif, silakan. Misal kalian mau jalan kaki ke taman, boleh. Kalian mau bersepeda, lari, olahraga, berjemur, menjahit atau apa saja hobi positif kalian, boleh sekali. Tapi bila terasa berat melakukan itu semua, cukup bertahan hidup saja, itu sudah hebat!
Semoga kalian mengerti maksudku ya? :)
Ada satu lirik lagu yang bagus sekali, I know it hurts sometimes, but you'll get over it. Aku tau kalian pasti bisa melaluinya walau terluka sesekali. Aku pun melaluinya, kalian pasti bisa.
Kali ini aku tidak menuliskan kalimat penghibur dari Al Quran, karena ya jelas banyak sekali yang bisa dijadikan kalimat penenang. Tapi tak apa, kalian bisa perlahan-lahan membacanya sendiri dan menemukannya. Al Quran dan berdzikir itu baik sekali, penyembuh, penenang, mengisi kekosongan jiwa yang rapuh. Kalau sulit membacanya, boleh mendengarkan saja, tidak masalah.
Fatimah putri Nabi pun pernah didera kelelahan mental, hingga Nabi menitipkan bekal terbaik untuknya, yakni kalimat subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar. Sebuah kalimat yang menjadi sumber kesucian, rasa syukur, dan kekuatan bagi jiwa jiwa yang sedang lelah.
***
Ah, segini saja ya. Akhirnya aku menuliskan lukaku yang kini telah sembuh.
Aku harap tulisan ini bisa bermanfaat dan membantu.
Lain waktu kita bertemu lagi dalam tulisan yang lain.
Sangat perlu banyak keberanian untuk menguraikannya.
Sembuhlah, berdayalah kembali, ada Allah, pasti semua akan terlewati.
Comments
Post a Comment