Langsung ke konten utama

My Hardest Part (3)

Bismilahirrahmanirrahim

Ditulis selepas shalat maghrib.
Baca dulu part sebelumnya ya, part 1 dan part 2

***

Berbagai metode dan pendekatan sejatinya sudah pernah ku jajal.

Mulai dari ruqyah syyariah bersama ustadz, dibacakan doa oleh ibuku sendiri, dibuatkan air doa dari air wudhu oleh ibuku sendiri, diberi tips dzikir oleh suami sepupuku, dibawakan air zam-zam dari temanku, dibawa ke psikiater, diskusi dengan psikolog, bahkan juga mencoba hipnoterapi.
Tapi khusus hipnoterapi aku pribadi sangat tidak menyarankan. Karena menurut ust Zaidul Akbar pun beliau tidak membolehkan. Padaku juga dampaknya langsung terasa, kambuh maag-ku sepulang dari sana, dan keadaanku semakin memburuk. Awalnya aku masih bisa makan minum dan kerja, setelah sesi hipnoterapi justru aku muntah-muntah, diare, sekujur tubuhku dingin dan ngilu.

Banyak sekali naik turun terjalnya perjalananku.
Sulit untuk ku ungkap secara detail, saking ruwet dan kompleksnya.

Aku masih terus menemui psikiater hingga awal bulan maret. Di konselingku, beliau bertanya "Gimana keadaan satu minggu terakhir ini?"
Aku menunduk sambil bercerita, "Saya down pak, kenapa ya? Saya kemarin ada hipnoterapi, pulangnya langsung memburuk keadaan saya. Waktu saya ke psikolog juga, saya justru memburuk"
Dokternya dengan tenang menjelaskan, "Mbak tau kan per? Per itu melingkar terus sampai naik ke ujung, tidak seperti tangga, per itu rutenya berbeda. Per itu melingkar terus, naik dan terus naik. Mbak itu seperti mengganggap diri mbak bodoh, kok aku nggak bisa bisa ya? kok aku nggak kayak orang orang yang bisa? Padahal mbak sebenarnya mengalami peningkatan ..."
Aku menangis.
Beliau melanjutkan "... tapi kemajuan dan peningkatannya sulit untuk dilihat oleh diri sendiri. Seperti anak kecil yang diajari matematika, kok kayak nggak bisa bisa, padahal ada kok kemajuannya, tapi memang nggak keliatan jelas."
Aku suka mendengar penjelasannya, menenangkan dan melegakan.

***

Beberapa nama seperti mbak Yati, mbak Lina adalah dua teman ibuku yang punya andil besar dalam perjalanan sembuhnya lukaku.

Mbak Yati, atau semestinya ku panggil ibu Yati, beliau seorang ibu bercadar yang memiliki anak laki-laki. Anaknya takut mengendarai motor sampai beberapa waktunya lamanya. Ketakutan yang mirip sepertiku.
Pada masa aku sakit, ibu Yati diundang ibuku ke rumah untuk bertemu aku. Beliau cukup menguatkan aku dan menceritakan bahwa anaknya sudah sembuh dan tidak takut lagi. Obatnya tauhid. Didoakan, diulang-ulang disampaikan nasehat baik dan dikuatkan terus. Lambat laun anaknya menjadi berani dan berdaya.

Mbak Lina atau ibu Lina, seorang ibu yang sempat takut mati saat musim covid 2022 lalu. Beliau terus ketakutan, bahkan takut pula mendengar ada bunyi orang sedang mencangkul. Dia mengira bahwa ada yang sedang menggali kubur untuknya. Ketakutan itu nyata dialami selama tiga bulan lamanya. Bagaimana sembuhnya? Tentu atas ijin Allah, sembuh tanpa perantara apapun, sembuh sendiri

Dan kini ibu Lina sedang menyetir mobil, duduk di sampingnya ada ibu Nurul. Berdua mereka mengantarkan aku dan ibu menemui seorang ustadz kenalannya.
Beliau bercerita bagaimana kalutnya dan pedihnya masa-masa itu, tapi beliau menguatkan dan bilang, nih lihat sudah tidak papa, ketika itu saya tersadar, ngapain saya terus takut? saya pukul dada saya, saya bilang saya harus kuat!

Beberapa hari setelah pulang dari psikiater adalah hari dimana ibu menangis usai melihat aku tidak kunjung membaik itu. Kemudian ibu mengirim wa pada ibu Lina dan menceritakan keadaanku. Hingga ibu Lina menawarkan mengantarkan aku ke rumah ustadz kenalannya.

Sesampainya disana aku hanya bersandar lemas di dinding, duduk dengan tatapan kosong. Tanpa perlu penjelasan apapun dariku, ustadznya sudah tau apa yang terjadi padaku. Ia menjelaskan sesi terapi yang harus ku jalani.
Aku pun menjalani sesi terapi yang melelahkan dengan didampingi ibu selama beberapa hari.
Sungguh rasanya seperti mimpi.

Rumah ustadznya jauh sekali, di lingkar luar, banyak truk besar lalu lalang. Rasanya seperti berada di kota lain. Kami menghabiskan beberapa malam di sana, jujur sangat sangat melelahkan, sebab kami kurang istirahat. Ingatanku tentang keadaan di sana masih membekas. Udara malam dan subuhnya masih kental terasa.

Hari demi hari aku menunjukkan kemajuan yang berarti. Aku mulai punya selera makan setelah menjelang siang dan malam. Aku mulai bisa makan nasi padang setengah bungkus. Aku bisa makan pentol dan minum teh tarik.

Tapi aku sempat drop karena kelelahan dan komplikasi obat yang ku minum. Aku nyaris terdiagnosa kanker atau tumor.
Aku sampai harus menjalani USG dan beberapa tes di rumah sakit.
Tidak terhitung berapa kali kami ke rumah sakit selama aku dinyatakan menderita anxiety disorder, bolak balik, dari pagi sampai sore hari. Sudah lelah sekali rasanya kakiku. 
Banyak obat yang ku minum. 
Tapi alhamdulillah aku hanya komplikasi obat saja, bukan kanker.

Sesi terapi yang ku jalani di rumah ustadz itu mengharuskan aku dan ibu berangkat setelah isya dan pulang setelah subuh. Aku mengamati lalu lintas malam hari dan subuh hari yang terasa menyesakkan.
Tapi aku menyadari aku semakin membaik. Aku pun sudah berani lepas obat. Walau di awal awal aku selalu terbangun malam tiap beberapa belas menit sekali, tapi lama kelamaan tidurku sudah nyenyak.
Aku ingat subuh hari itu, aku pulang sambil menenteng sebungkus nasi kuning lauk telur yang ku beli di dekat rumahku. Aku makan dengan lahap tanpa muntah atau mual.

Kemajuan demi kemajuan yang ku alami, ku tuliskan dalam sebuah story WA yang ku bagikan ke beberapa teman dekatku.
Aku bisa menghabiskan nasi kuning, tulisku. 
 Aku bisa naik motor lagi, tulisku di hari berikutnya.
Aku bisa tidur siang sendiri,
Aku bisa shalat sendiri,
Hari ini aku memasak menu berbuka,
Aku tadi pergi ke toko,
Aku nonton drama korea!

Dan banyak kemajuan kecil yang ku tulis, yang menurutku luar biasa.

Jatuh bangunnya sudah pasti ada, misal aku mulai sesenggukan lagi, takut, tapi tak apa, itu adalah hal yang wajar terjadi.

***

Tapi Allah tidak ingin aku bergantung pada makhluknya.
Banyak sekali hal krusial yang cukup menyulitkan selama sesi terapi, hingga aku dan ibu memutuskan menyudahi sesinya. Jujur aku khawatir kambuh lagi, karena kini aku sendiri. Tapi aku percaya bahkan tanpa perantara siapapun, kalau sudah waktunya sembuh, Allah akan sembuhkan dengan caraNya.

Bulan puasa itu aku berlindung dari kekhawatiran dan kecemasanku. Aku menjalani hariku perlahan-lahan. Seperti bayi yang tidak tau apa-apa. Aku banyak belajar.
Aku seperti punya otak yang di-reset. Aku jadi lupa banyak hal. Termasuk lupa, bahwa tiap orang punya waktunya masing-masing untuk sembuh. Aku masih lemah sekali saat itu, aku beruntung memiliki banyak nasehat dan masukan dari teman-teman baikku.

Aku belajar naik motor sendiri, lama kelamaan aku mulai kembali menjadi diriku seperti sedia kala.
Aku belajar mengesampingkan ketakutanku.

Lama sekali progresnya, dan berjalan begitu lambat.
Tapi tak apa, take your time as much as you need, kata orang bijak. 

Aku meyakini momenku ini bagai makna surah Ad Dhuha, kata ust Adi Hidayat, semakin pekat masalahnya, semakin pekat bagai malam, justru itu pertanda sebentar lagi akan menemukan waktu subuh, sebentar lagi akan menemukan kehangatan waktu dhuha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bersyukur

Hari ini aku mengajar. Menjelaskan dengan suara lantang dan tangan yang ku masukkan di saku. Oh ayolah. Jangan kaku begitu. Jangan kamu bilang aku sombong karena gesture ini. Tangan yang dimasukkan ke saku...memang seenak itu! Rasanya letih sekali kalau harus kamu kritik hal itu. Di sela mengajar, Anak anak kelas lain lewat sambil menoleh ke kelasku, bergantian memberikan senyum untukku, atau melambai padaku. Pun ketika aku berjalan di koridor, sapaan, tawa, malu malunya mereka, hal remeh yang ternyata menyenangkan untuk dirasakan :) Semoga semua perlakuan itu tulus dari hati. Dengan begitu, hatiku juga bisa nyaman menerimanya. :) Terima kasih ya Allah. Aku bersyukur.

Kapsul Waktu Part 1 (Teknologi)

Membicarakan masa lalu memang seseru itu. Anak anak kelahiran tahun 90an pasti sangat relate. Tapi tidak banyak yang bisa berlama-lama membicarakan masa lalu lagi saat ini, waktu semakin menghimpit, beban semakin berat di pundak, banyak pekerjaan yang mencapai tenggat. Padahal seandainya mau meluangkan waktu, aku yakin waktu yang dibutuhkan untuk mengupas masa lalu tak akan pernah sebentar. Mari kita bercakap-cakap masa lalu yang luar biasa itu disini saja, sebab kini kita sudah kehilangan banyak kesempatan. Kali ini temanya teknologi, tapi mungkin tidak runut ceritanya, aku minta maaf dulu :D Dan semoga ada kesempatan berikutnya untuk kita membicarakan tema lainnya. *** Aku punya sebuah kotak kardus kecil di lemari, isinya adalah beberapa kenangan di waktu sekolah dulu. Saat aku menyimpannya, aku tak punya maksud apa-apa selain terlalu sayang untuk membuang benda tersebut. Tapi kini aku bersyukur masih memiliki benda-benda itu, aku seperti sedang mengubur kapsul waktu. Benda-benda itu...

Menciptakan Keberanian

Tahapan dalam hidup kadang memang seunik itu. Dan sungguh hidup bukanlah sebuah perlombaan. Setiap manusia memiliki garis waktunya masing masing. Aku menemukan banyak sisi lain dari diriku di tiap garis usiaku, dan itu berbeda dari teman sebayaku. Misalnya aku hari ini, di usia 30 tahunku, aku banyak berani melakukan sesuatu yang dulunya aku merasa malu untuk melakukannya. Hari ini aku senam pramuka bersama teman kantorku, Sekadar informasi, aku dulu tidak suka senam. Karena malu melakukan gerakan senam di hadapan banyak pasang mata yang memandang. Tapi kini, aku suka senam (yang gerakan dan musiknya memang sopan ya). Aku bersemangat melakukannya. Setelah senam, aku merasa free untuk melakukan kegiatan lainnya, aku membawa tali keluar kantor. Ternyata banyak temanku tertarik dan ingin mencoba. Aku akhirnya bermain bersama sama. Aku suka memberanikan diri bermain tali dan mengakui ketidakmampuanku dalam bermain. Dan itu tak apa, kami bersenang senang! Setelah main tali, aku memainkan ru...

Win Some and Lose Some

"That's how it is. You win some you lose some. That's how the world works. I don't have any regrets at all" Suga BTS said after their concert. Sederhananya kurang lebih, untuk mendapatkan sesuatu kita harus siap kehilangan yang lain. Aku merenung sebentar. Maksudku, ku pikir aku yang tidak bisa mengatur waktuku disini. Atau...aku yang salah dalam melangkah. Nyatanya, ini semua hanyalah sebuah hukum alam yang sulit tertampik. Aku sering merasa bersalah meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, kemudian di kamar sepanjang malam dan baru keluar kalau lapar. Rasa rasanya, aku tidak mampu kalau harus sekadar bercengkrama selepas maghrib di ruang tivi. Karena kantuk dan penat yang sangat rindu kasur. Apalagi kalau harus bekerja lagi  di rumah, seperti memasak, menyapu dan sebagainya. Di kantor semua energiku terkuras habis, tidak hanya di badan, di pikiran juga, pun di hati juga. Jadi pulang ke rumah, aku hanya ingin mengistirahatkan semua dan kemb...

Nilai Oh Nilai~

Sedang mengerjakan erapor, rutinitas tiap akhir semester. Bagian paling berat adalah menuliskan nilai jujur ke anak anak. Sebenarnya bukan pelit nilai sih, tapi ya apa adanya aja ke anak, dan sebenarnya pun kalau harus apa adanya, nilainya gak akan sebagus itu hahaha Kayak 70 pun jauh kali, realnya gak sampe 70. Terus juga mikirin efek psikologisnya ke anak anak, kalau dikasih nilai segini, nanti gimana ya efeknya? Makin semangat atau gimana ya? Mikir juga, nilai ulangannya jujur atau curang ya? Gak bisa mentah-mentah ngambil nilai ulangannya, kudu ditelusuri juga kesehariannya gimana, aktif gak? Lengkap gak tugasnya? Sama guru lain gimana? Hehehe Jadi kalau ada yang bilang ibu pelit nilai, sini ku kasih lihat real-nya nilai, dan perhitungan matematis dan pertimbangan attitudenya juga. Maka  kamu akan tercengang dengan nilainya :P Dan fyi aja, nilai nilai itu sudah digodok dengan lama, dipikirin minimal tiga kali banget, kadang diubah karena kasihan, kadang diubah karena banyak hal...

Himdeureo

Jalan ini sulit, Apakah akan terasa mudah jika melaluinya bersamamu? Aku sekarang tidak mahir membuat tulisan panjang lebar lagi, mungkin karena aku tidak punya objek dalam tulisan ini. Tak ku tujukan pada siapapun, tak ku sematkan untuk siapapun. Tulisan tulisan tak bertuan. Miliki saja bila kau ingin. *** Aku ada disini. Dalam ratusan tulisan yang bisa kau baca tiap hari. Kau bisa mampir jika ingin. Kau bisa membacanya jika rindu. Seolah aku sedang bercakap di depanmu. Kau bisa membawaku dalam semua kegiatanmu. Saat kau menunggu antrian, saat kau sedang bosan, saat kau akan tidur. Aku selalu ada. Tapi bagiku, kau tidak ada dimanapun. Kau tidak bisa ku temukan dalam apapun. Kau tidak akan pernah hadir walau ku cari bertahun tahun. *** Aku membencimu, sebanyak aku ingin melupakanmu.

B E I N G G R A T E F U L

Aku begitu mencintai setiap fase hidupku. 30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.  Lahir sebagai bayi normal nan sehat. Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang. Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku. Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku. Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat. Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti. Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik. Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik. Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal. Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap. Dilindungi dengan cinta dan harapan. Direngkuh dengan kasih dan sayang.

Takdir

Ada yang mengejarku selama ini, aku menghindar. Entah apa yang salah, mungkin aku membenci caranya mendekatiku. Setiap perhatiannya memuakkan. Aku juga kebingungan dengan diriku ini. Ternyata memaksakan diri jatuh cinta memang tidak mudah. Mungkin begitulah aku di matamu? Seketika itu aku bercermin. Melihat pantulan diriku yang begitu hebat masih mengejarmu. Mungkin kamu sangat terganggu dan kebingungan menghindariku. Dasar aku, kamu, dan takdir ini.
Mau produktif menulis, tapi makin kesini makin membuncah rasa malasku, Hati yang khawatir, cemas berkepanjangan, tiba tiba datang menyerang, Aku ingin produktif, tapi terlalu malas

Surat Terbuka untuk Kelas XII 2018

Demi menulis apa yang sedang menyesaki kepala, sampai rela meninggalkan soal ulangan yang padahal dikejar deadline. Bismillahirrahmanirrahim... Jadi, malam ini, Nak. Postingan ini ditujukan untuk kalian anak-anak ibu yang lucu dan menggemaskan (pada akhirnya kalian menjadi lucu dan menggemaskan bagi ibu). To be honest , jarang sekali momen paska perpisahan itu baper ya, sampai-sampai tertuang di blog ini. Tapi mungkin dua tahun cukup lah sebagai pertimbangan kenapa kalian agak berkesan hingga akhirnya ibu rela menuliskan surat ini disini.