Sistem pemerintahan mulai kacau.
Perekonomian, sosial, hingga pendidikan.
Tradisi yang telah dijaga turun temurun tanpa syarat mulai berangsur ditelisik darurat tidaknya. Seperti tradisi ujian, wisuda, belajar di kelas, jabat tangan, upacara, ibadah, perayaan, dan hal hal lainnya. Semua mulai dibenahi, atau bahkan ditiadakan.
Ujian dihapuskan, wisuda daring, belajar dari rumah, jabat tangan dihindari, ibadah di rumah, perayaan ditiadakan sementara. Demi keselamatan bersama.
Masyarakat yang awalnya abai, mulai belajar berkompromi. Tapi tidak sedikit juga yang masih bikin sesak di dada, karena masih enggan diatur.
Tak hanya masyarakat, pemerintah yang kebingungan juga menerbitkan peraturan yang sama bingungnya.
Seperti kasus menjelang lebaran yang melelahkan.
Antara ketatnya lock down, bolehnya pulang kampung, larangan mudik, atau himbauan stay dirumah aja.
Lebih memusingkan ketimbang memilih jodoh apartur negara atau pegawai swasta.
Hari demi hari, mimpi buruk tak kunjung berhenti.
Mungkin mimpi bertemu jin ifrit jauh lebih baik daripada mimpi corona ini. Karena bangun dari tidur pun tak jua menjadi solusi.
Mimpi buruk masyarakat kelas menengah ke bawah yang terbawa sampai ke alam sadarnya.
Mimpi pemutusan hubungan kerja, potong gaji, penundaan gaji, tidak ada kiriman uang, kelaparan dan kehausan yang mencekik, intaian tindak kriminal, tunggakan BPJS yang ambigu, biaya sekolah yang bagai buah simalakama, masalah kesehatan yang sama peliknya.
Mimpi ini tapi tidak berlaku bagi masyarakat kelas atas.
Mereka tetap bisa bekerja dari rumah saja, atau berpergian dengan kendaraan roda empat yang sedikit lebih aman ketimbang terpapar virus atau debu jalanan, mereka sanggup menyetok sembako untuk satu dua bulan, bahkan kalaulah sembako bisa bertahan satu tahun, akan mereka stok. Mereka bisa menyuplai kesehatan dengan berbagai vitamin, buah sayur organik nan sehat, daging ikan dan berbagai produk sehat lainnya.
Hak mereka, karena mereka tidak mendzalimi siapapun.
Hanya ingin menuliskan ironi saja.
Hanya ingin menuliskan ironi saja.
***
Namun hal ini tentu tidak luput dari perhatian pemerintah dan kaum influencer.
Berbagai upaya untuk membantu sesama mulai ramai digalakkan.
Bantuan APD, alat medis, sembako mulai meluas.
Pemerintah menganggarkan sekian ratus ribu untuk menjamin keberlangsungan hidup tiap keluarga kurang mampu. Walau entah kenapa ada saja oknum yang sampai hati mencurangi, bahkan di tengah perkara hidup mati seperti ini. Mulai dari bantuan yang hanya tinggal separuh ketika sampai di pintu rumah atau bantuan yang sampai ke rumah anggota DPR.
Para influencer tak mau kalah.
Banyak juga yang berlomba lomba membagikan bingkisan beras, masker, atau uang tunai kepada pekerja harian atau buruh yang luntang lantung di jalanan.
Bagaimana aku tau? Mudah saja, tinggal menonton di channel Youtube dari rumah.
Apapun itu, setidaknya mereka sudah membantu, bergerak, dan membawa perubahan. Tidak sepertiku yang hanya jadi penonton saja. Kadang terenyuh, kadang terkesima.
Bagaimana aku tau? Mudah saja, tinggal menonton di channel Youtube dari rumah.
Apapun itu, setidaknya mereka sudah membantu, bergerak, dan membawa perubahan. Tidak sepertiku yang hanya jadi penonton saja. Kadang terenyuh, kadang terkesima.
***
Kalau ku tulis semua, ku rasa artikel ini sampai jilid 1001 saking banyaknya problematika.
Tapi sekali lagi ku katakan, aku sangat tidak berkapasitas menyoroti hal ini lebih jauh.
Maaf untuk tulisan yang tidak nyaman dibaca, tapi itu hanya pemikiran gamblang di kepala awam sepertiku.
***
Apakah ini musibah? Atau rahmat?
Tiap orang memiliki persepsinya masing masing.
Satu kali pandemi ini menjadi musibah, kali lain menjadi rahmat.
Semua tergantung dari bagaimana kita menyikapi.
Anggaplah ini musibah. Allah timpakan karena selama ini kita sudah melampaui batas. Sudah dzalim, lalai, angkuh, sudah seenak jidatnya saja.
Kita sering hang out tak kenal waktu, beberapa orang justru tiap malam melipir ke diskotik, karaoke atau tempat hiburan yang melalaikan. Kadang juga rela pergi ke konser, berdesak desakan, histeris meneriaki idolanya. Lupa waktu shalat, karena antri sejak sore hingga petang.
Kita juga lengah menjaga kebersihan. Padahal ianya adalah sebagian dari iman.
Maka Allah berikan kita musibah agar kita mawas diri. Introspeksi. Lantas bertaubat.
Allah ingin kita menyadari bahwa sehebat apapun kita, ternyata dihadapkan pada virus tak kasat mata saja kita menciut.
Sebagaimana Namrud yang dikalahkan oleh seekor nyamuk (dalam riwayat lain dikatakan seekor lalat).
Berkat virus ini, tempat hiburan ditutup. PSBB dijalankan. Konser dibatalkan.
Sorry not to say sorry. Aku tidak membicarakan nasib pegawai yang bekerja di tempat itu, Allah yang mengendalikan rejekinya. Allah pasti tunjukkan jalan keluar untuk mereka.
Corona ini bisa juga adalah rahmat.
Saat yang tepat untuk sedikit beristirahat. Sejenak melupakan urusan duniawi dan lebih mendekat pada Allah.
Orderan sepi, job sepi, dagangan tidak laku sejak pagi. Entahlah. Mungkin Allah ingin kita menggunakan waktu menunggu rejekinya itu dengan banyak berdzikir, membaca sirah nabawiyah, atau hal lain yang manfaat.
Dagangan makanan yang sepi karena banyak orang tidak berani keluar rumah, bisa jadi ladang sedekah. Coba sedekahkan saja sebagian pada buruh buruh yang duduk melamun di pinggiran itu, mereka yang bingung bagaimana mencari sesuap nasi.
Mudahkan aku mengatakannya? Ya karena begitu memang jalannya. Mau bagaimana lagi?
Banyak yang kehilangan pekerjaan akibat PHK sepihak. Bisa jadi Allah ingin tunjukkan pekerjaan yang lebih nyaman dan mudah bagi kita. Kita tidak tau keuangan di perusahaan itu, mungkin ada sedikit yang tidak halal. Allah tidak ingin harta kita jadi tercampur dengan yang tidak halal. Berpikir positif saja selalu. Hanya perlu berserah dan bersabar sedikit.
Rahmat Allah itu hebat.
Tidak mungkin Allah berlepas diri dan menelantarkan kita.
Sebagian masyarakat kantoran, mungkin ada yang dipekerjakan dari rumah. Work from home. Aku salah satunya.
Enak kan? Enak alhamdulillah.
Walau gaji sempat tertahan dan tertunda di saat genting gentingnya, setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tapi jujur bagian sulitnya pun ada. Maaf kalau boleh ku katakan, karena terlalu lama di rumah, kondisi rumah tidak sestabil yang dikira. Sering crash dengan orang tua hanya karena perkara sepele dan sebagainya. Mondar mandir di kamar tidak produktif. Tidak ada tempat untuk bertukar pikiran seperti sebelumnya. Tekanan pekerjaan yang tak berubah.
Ku katakan ini, agar tidak perlu ada perasaan saling iri. Wah enak ya bisa kerja dari rumah saja? Wah enak ya tetap digaji. Ya biar bagaimana, tetap ada bagian sulitnya juga. Aku digaji, di satu sisi pendapatan orang tuaku jatuh ke bawah karena musibah ini, ya sama saja.
Tidak bermaksud ingkar nikmat, hanya ini bukan ranahnya untuk saling sinis membandingkan hidup kita.
Apapun yang terjadi selalu disyukuri, karena waktu istirahat jadi lebih banyak, waktu untuk bersama keluarga juga lebih banyak.
Hikmah selalu hadir.
Mengisi tiap sendi permasalahan.
Siapa yang mau membuka pikirannya, akan bisa menemukan hikmah ini. Siapapun yang menutup pikiran dan hatinya, hanya bisa merutuki tiap takdir yang terjadi.
Berkat pandemi ini, kita belajar menjaga diri dari ikhtilat/campur baur. Kita belajar menjaga jarak, tidak skinship bahkan pada sesama mahram. Kita belajar menahan diri untuk tidak menghabiskan waktu dalam kesia-siaan. Kita belajar untuk membuat prioritas dalam hidup. Kita belajar menjaga kebersihan, beradab dalam bersin atau batuk. Kita belajar peduli pada lingkungan sekitar, berbagi makanan atau uang.
Kita belajar prihatin.
***
Korban jiwa yang berjatuhan. Aku turut berduka sedalam dalamnya. Takdir Allah.
Tidak ada yang terdampak. Semua lapisan masyarakat terkena imbas musibah ini, aku juga merasakannya.
Semua terkena dampak sesuai dengan level sabar dan kelapangan yang Allah beri.
***
Kini pandemi covid19 tak lagi menjadi pandemi, namun berganti menjadi endemik.
Doaku, aku ingin semua pulih dan membaik.
Aku ingin hidup yang lebih baik, tapi semua akhirnya mengikuti persepsi Allah. Baik di mataku, belum tentu baik menurut Allah.
Apakah seperti ini baik untuk manusia, aku juga tidak mengerti. Hanya berusaha berbaik sangka atas semua yang Allah takdirkan. Hanya berharap Allah mengganti tangisan dan ratapan tiap jiwa dengan senyum dan tawa segera.
Berharap Allah mengampuni dosa dan kedzaliman yang tanpa sadari kita lakukan.
End.
Anggaplah ini musibah. Allah timpakan karena selama ini kita sudah melampaui batas. Sudah dzalim, lalai, angkuh, sudah seenak jidatnya saja.
Kita sering hang out tak kenal waktu, beberapa orang justru tiap malam melipir ke diskotik, karaoke atau tempat hiburan yang melalaikan. Kadang juga rela pergi ke konser, berdesak desakan, histeris meneriaki idolanya. Lupa waktu shalat, karena antri sejak sore hingga petang.
Kita juga lengah menjaga kebersihan. Padahal ianya adalah sebagian dari iman.
Maka Allah berikan kita musibah agar kita mawas diri. Introspeksi. Lantas bertaubat.
Allah ingin kita menyadari bahwa sehebat apapun kita, ternyata dihadapkan pada virus tak kasat mata saja kita menciut.
Sebagaimana Namrud yang dikalahkan oleh seekor nyamuk (dalam riwayat lain dikatakan seekor lalat).
Berkat virus ini, tempat hiburan ditutup. PSBB dijalankan. Konser dibatalkan.
Sorry not to say sorry. Aku tidak membicarakan nasib pegawai yang bekerja di tempat itu, Allah yang mengendalikan rejekinya. Allah pasti tunjukkan jalan keluar untuk mereka.
Corona ini bisa juga adalah rahmat.
Saat yang tepat untuk sedikit beristirahat. Sejenak melupakan urusan duniawi dan lebih mendekat pada Allah.
Orderan sepi, job sepi, dagangan tidak laku sejak pagi. Entahlah. Mungkin Allah ingin kita menggunakan waktu menunggu rejekinya itu dengan banyak berdzikir, membaca sirah nabawiyah, atau hal lain yang manfaat.
Dagangan makanan yang sepi karena banyak orang tidak berani keluar rumah, bisa jadi ladang sedekah. Coba sedekahkan saja sebagian pada buruh buruh yang duduk melamun di pinggiran itu, mereka yang bingung bagaimana mencari sesuap nasi.
Mudahkan aku mengatakannya? Ya karena begitu memang jalannya. Mau bagaimana lagi?
Banyak yang kehilangan pekerjaan akibat PHK sepihak. Bisa jadi Allah ingin tunjukkan pekerjaan yang lebih nyaman dan mudah bagi kita. Kita tidak tau keuangan di perusahaan itu, mungkin ada sedikit yang tidak halal. Allah tidak ingin harta kita jadi tercampur dengan yang tidak halal. Berpikir positif saja selalu. Hanya perlu berserah dan bersabar sedikit.
Rahmat Allah itu hebat.
Tidak mungkin Allah berlepas diri dan menelantarkan kita.
Sebagian masyarakat kantoran, mungkin ada yang dipekerjakan dari rumah. Work from home. Aku salah satunya.
Enak kan? Enak alhamdulillah.
Walau gaji sempat tertahan dan tertunda di saat genting gentingnya, setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tapi jujur bagian sulitnya pun ada. Maaf kalau boleh ku katakan, karena terlalu lama di rumah, kondisi rumah tidak sestabil yang dikira. Sering crash dengan orang tua hanya karena perkara sepele dan sebagainya. Mondar mandir di kamar tidak produktif. Tidak ada tempat untuk bertukar pikiran seperti sebelumnya. Tekanan pekerjaan yang tak berubah.
Ku katakan ini, agar tidak perlu ada perasaan saling iri. Wah enak ya bisa kerja dari rumah saja? Wah enak ya tetap digaji. Ya biar bagaimana, tetap ada bagian sulitnya juga. Aku digaji, di satu sisi pendapatan orang tuaku jatuh ke bawah karena musibah ini, ya sama saja.
Tidak bermaksud ingkar nikmat, hanya ini bukan ranahnya untuk saling sinis membandingkan hidup kita.
Apapun yang terjadi selalu disyukuri, karena waktu istirahat jadi lebih banyak, waktu untuk bersama keluarga juga lebih banyak.
Hikmah selalu hadir.
Mengisi tiap sendi permasalahan.
Siapa yang mau membuka pikirannya, akan bisa menemukan hikmah ini. Siapapun yang menutup pikiran dan hatinya, hanya bisa merutuki tiap takdir yang terjadi.
Berkat pandemi ini, kita belajar menjaga diri dari ikhtilat/campur baur. Kita belajar menjaga jarak, tidak skinship bahkan pada sesama mahram. Kita belajar menahan diri untuk tidak menghabiskan waktu dalam kesia-siaan. Kita belajar untuk membuat prioritas dalam hidup. Kita belajar menjaga kebersihan, beradab dalam bersin atau batuk. Kita belajar peduli pada lingkungan sekitar, berbagi makanan atau uang.
Kita belajar prihatin.
***
Korban jiwa yang berjatuhan. Aku turut berduka sedalam dalamnya. Takdir Allah.
Tidak ada yang terdampak. Semua lapisan masyarakat terkena imbas musibah ini, aku juga merasakannya.
Semua terkena dampak sesuai dengan level sabar dan kelapangan yang Allah beri.
***
Kini pandemi covid19 tak lagi menjadi pandemi, namun berganti menjadi endemik.
Doaku, aku ingin semua pulih dan membaik.
Aku ingin hidup yang lebih baik, tapi semua akhirnya mengikuti persepsi Allah. Baik di mataku, belum tentu baik menurut Allah.
Apakah seperti ini baik untuk manusia, aku juga tidak mengerti. Hanya berusaha berbaik sangka atas semua yang Allah takdirkan. Hanya berharap Allah mengganti tangisan dan ratapan tiap jiwa dengan senyum dan tawa segera.
Berharap Allah mengampuni dosa dan kedzaliman yang tanpa sadari kita lakukan.
End.
Comments
Post a Comment