Terkadang hal sepele untuk kita, bisa sangat berharga bagi yang lain.
Hari guru menjadi sakral untukku setelah aku jadi guru, 7 tahun yang lalu. Sejak itu, tiap bait lagu hymne guru selalu bermakna.
Merayakan hari guru seyogyanya bukanlah kewajiban siswaku, tapi entah kenapa aku terluka bila mereka tak merayakannya bersamaku. Aku benci perasaanku ini. Aku minta maaf telah membebani mereka.
Dan teman sejawatku pun begitu.
Mereka bilang, "anak anak tidak perlu kasih hadiah, eh tapi kalau tidak dikasih kok sedih juga. Lihat yang lain dikasih, kok aku tidak".
Begitulah hati guru, fragile nan rapuh.
Sebenarnya bukan kadonya yang membuat hari guru spesial, tapi melihat usaha mereka merayakan hari guru, membuatku terkesan. Anak anak boleh mengatakan, "ibu maaf tidak membelikan kado, kami sayang ibu, selamat hari guru", itu pun tak apa. Aku menyukainya.
Anak anak boleh hanya mengucapkan, boleh memberiku surat saja, tak apa. Tak perlu bunga, kue, atau cokelat. :)
Hari ini, anak anak mengucapkan hari guru padaku, berfoto bersamaku, dan seorang anak pemalu juga memberikan kue merah manis yang kami makan bersama.
Mungkin remeh temeh untuk orang lain, tapi aku bersyukur untuk semuanya.
Perasaan diinginkan, dihargai, dicintai, adalah perasaan yang aku rindukan.
Aku ingin menjadi guru yang seperti itu.
Diinginkan, dihargai, dan dicintai anak anak.
Aku yakin semua guru pun merasakan hal yang sama.
Dengan semua hari hari yang telah dilewati bersama anak anak, hujan maupun terik, kelas yang ribut atau tenang, pelajaran yang sulit atau mudah, semua kerja kerasnya, suka dukanya... nyatanya guru hanyalah manusia yang ingin diapresiasi sebagaimana siswa yang juga ingin diperhatikan.
Untuk semua tatapan kesal dari siswa, keluhan siswa, penolakan, acuhnya, aku yakin guru adalah manusia yang juga sering terluka.
Lalu luka itu tak pernah terobati, dibiarkan begitu saja. Hinga lambat laun mereka menjadi sekeras karang demi melindungi hatinya yang patah.
Tak ada doa buruk yang dipanjatkan, hanya berdoa agar hatinya sendiri tetap lapang.
Agar luka lukanya sembuh.
Tak sekali guru menangis sebab siswanya, tapi tak apa katanya kemudian.
Guru itu menyeka air matanya sambil bersiap kembali mengajar.
Mungkin begitulah aku menyelami perasaan guru guruku dahulu setelah aku menjadi guru.
Betapa besar hati mereka, betapa pemaafnya mereka.
Aku seharusnya minta maaf pada mereka kala itu, tapi aku begitu jumawa mengira aku tidak pernah bersalah. Padahal bisa saja aku menyakiti mereka tanpa sadar.
Sebab itulah aku kini berusaha menebus penyesalan itu... Tiap kali aku berpapasan dengan guruku, aku segera berlari pada mereka, mencium tangannya sambil memperkenalkan diriku. Pun tak lupa mengatakan hal baik tentang mereka dan meminta maaf.
***
Ah hari guru.
Hari yang sangat ingin ku hindari.
Aku takut menghadapi penolakan. Aku takut menghadapi kenyataan.
Seharusnya aku bisa meluaskan hati dan perasaanku. Membiarkan diriku menghadapi semua kemungkinannya. Membiarkan diriku belajar berlapang dada. Belajar melangitkan doaku pada anak anakku semuanya, yang menyukaiku, atau yang tidak.
Tapi begitulah aku, si manusia biasa, yang justru sering menangis di hari guru.
Love language-ku pada anak anak sebagian besar adalah word of affirmation yang dibalut emosi, entah marah atau menangis. Maaf karena tidak profesional. Maaf karena selalu melibatkan perasaan. Tapi itulah aku, dan perasaanku.
:)
Selamat hari guru, pada semua guruku, rekan kerjaku, dan semua teman sejawatku.
Dan untuk anak anakku X DKV 1, terima kasih telah merayakan hari guru bersama ibu💜
Comments
Post a Comment