Bismillahirrahmanirrahim
Sambil sarapan, sambil nulis blog.
Sekolah sudah tatap muka selama tiga minggu. Alhamdulillah sejauh ini nggak ada masalah yang berarti. Eh tapi baru aja mikir begitu, tiba tiba ada sentilan yang lumayan mengganggu.
Darimana ya memulai nulis emosinya. Hihi
Nggak deh. Becanda
Jadi, untuk membuka sekolahan di masa pandemi gini aja, rutenya nggak mudah.
"Oh kalau nggak mudah, ya nggak usah dibuka!" Celetuk seseorang yang otaknya dangkal.
Ya, gimana ya Sayang. Kalau sekolahnya online terus, nanti orang tua siswa tambah ngedumel karena beberapa dari mereka beranggapan guru makan gaji buta. Atau ngedumel karena mesti bayar SPP padahal anaknya nggak sekolah.
Juga ngedumel karena anaknya semakin menambah beban keluarga karena nggak berguna berguna banget ketika di rumah.
Untuk mencegah pemikiran liar seperti itu, akhirnya melalui rapat dan diskusi sana sini, kami memutuskan untuk mengajukan sekolah tatap muka.
Sampai sini paham nggak?
Untuk merealisasikan sekolah tatap muka, harus rapat dulu, diskusi semua pihak. Orang tua juga diajak diskusi. Dan keputusan rapat pun nggak serta merta jadi hasil akhir, karena harus mengajukan ijin juga ke SATGAS di daerah setempat.
Mendapatkan ijinnya juga nggak mudah, harus disurvei dulu, sosialisasi protokol kesehatan ketat, dan banyak banget yang musti disiapin. Jadi ini adalah rute yang panjang :')
Singkatnya, sekolah berhasil dibuka dengan semua perjalanan perijinan dan diskusi tadi.
Tapi, setelah tiga minggu berjalan, kalau sekolah adem ayem, rasa rasanya nggak mungkin. Pasti ada aja yang mengusik, entah karena bosen tentram, atau memang suka memancing keributan.
Guru guru di sekolah yang sejauh ini menahan sabar dan emosinya, ya jebol juga pertahanannya. Masalah yang terjadi ya tentu nggak sepele, mengingat kalau ditarik kebelakang terdapat sikap nggak jujur dan kurang amanah yang mendasari masalah ini muncul.
Misalkan seperti surat ijin dari orang tua yang dipalsukan, tugas tugas yang disepelekan, bolos tanpa sebab, nggak disiplin dalam berpakaian, dsb.
Sampai masalah yang barusan terjadi adalah protes yang dilayangkan kepada sekolah, dari salah satu orang tua yang keberatan anak tersayangnya diukur suhu dengan thermogun di dahi.
"Jangan membesar-besarkan masalah corona! Kalau ditembak terus anak saya, nanti malah muncul penyakit lain!" Protes seorang bapak yang menyuarakan aspirasinya tanpa mengenakan masker.
Hmm...
Kita tu ya, kalau kurang menguasai sesuatu, mbok ya jangan terlalu dipamerin :) malu.
Mikirnya nggak usah pake buku fisika kimia biologi wes, pake logika saja. Misal misal misaaaallllll, thermogun itu bahaya ditembakkan ke dahi, mohon maap ya, itu pasti nggak akan pernah ada thermogun yang diproduksi :)
Bahkan beberapa thermogun memang di setting di dahi, ada sih yang bisa diukur dari pergelangan tangan, tapi ya tergantung jenis thermogun-nya.
Kalau misalkan, nih misalkan nggak mau pake thermogun, terus pakenya termometer badan yang diselipin di ketek, apakah seperti itu aman?
Yakali anak anak dijamin mandi semua. Pas ada yang belum mandi gimana?
Atau misal udahlah nggak usah diukur suhu tubuhnya, ternyata ada salah satu anak yang badannya anget anget kuku alias demam. Apa nggak ngeri?
Bayangin aja filmnya Train to Busan, satu cewek yang terinfeksi virus masuk dalam kereta. Eh satu kereta kena virus semua. Atau filmnya The Flu, yang satu aja orang kena virus flu berdarah itu, satu kota pada jadi korban.
Nah kalau misal dalam real life kayak gini, ada satu anak yang demam, memang demam itu nggak menular, tapi kan demam itu indikasi badannya lagi sakit?
Dan imunnya lagi lemah?
Di kondisi pandemi begini, jelas membiarkan si anak berada di sekolah cukup beresiko.
Seharusnya si anak bisa beristirahat di rumah, tapi karena kealpaan nggak dicek suhu tubuhnya, dan si anak merasa demamnya bukan masalah besar, akhirnya ia malah belajar di sekolah.
Kan?
Hanya dari protes akibat kemakan hoax WA keluarga tadi aja loh (monmaap jadi bawa bawa keluarga), resiko yang menyertainya jadi panjang bener.
Itulah kenapa penting banget saring sebelum sharing. Sebelum membagikan hoax nggak mutu dan memecah belah manusia, ya ditelaah dulu. Masuk akal nggak nih? Bahaya nggak nih buat masyarakat?
Soalnya kalau sudah dibagikan, yang membaca kan dari beragam pihak.
Pihak yang dulunya mengenyam bangku sekolah, dan pihak yang ketika di sekolahnya dulu, sibuk tidur sampai lulusan.
Kalau yang sekolahnya bener, insyaAllah bisa mikir dan memilah. Sedangkan yang nggak sekolah dengan bener, jangankan memilah, mikir juga nggak mau.
Baru baca hoax gitu aja, udah nggak mikir panjang lagi dan ditelan mentah mentah.
Nggak bisa bayangin, gimana lagi ketemu fitnah dajjal :( yang bahkan bisa menghidupkan orang mati atas ijin Allah. Huhu. Iman bakalan goyah jadinya.
Moga kita dijauhkan dari hal kayak gitu ya.
Akhir kata, plis jangan mau kemakan hoax yuk. Terutama hoax WA keluarga. Hehehe
Plis jangan juga koar koar tanpa tau ilmunya, malunya itu loh. Masa kedangkalan ilmu malah dipamerin? :(
Dari: seseorang yang, ngantuk berat
Comments
Post a Comment