Seisi kelas hening. Hanya beberapa anak yang terlihat masih saling mencubit temannya.
"Iya. Puluhan kali saya bilang itu di depan kalian."
Kelas tetap hening.
"Tapi, ada satu hal yang luput dari perhatian kalian."
"Saya tidak suka, bukan berarti saya menyerah untuk memahaminya. Saya tidak pernah berhenti berusaha. Memahami kenapa Log 1 = 0. Saya bisa sampai di posisi ini, bukan karena saya jenius, cerdas luar biasa, nilai di rapor 90. Bukan. Sejujurnya tidak ada hal membanggakan yang memang perlu dibanggakan. Seorang guru kimia yang tidak suka matematika. Kenapa justru bangga?"
"Tapi bukan itu poinnya. Ketika saya menegaskan kalimat itu beberapa bulan yang lalu, saya rasa ada hal penting yang kalian abaikan. Sejujurnya saya tidak akan pernah bisa kimia kalau saya tidak bisa matematika."
Anak-anak menatap dalam diam.
"Saya katakan bahwa 'Ibu ngga suka matematika' bukan berarti karena saya sungguh tidak menyukainya. Saya pernah bilang kan kalau kalian tidak perlu harus menyukai kimia? Apa saya juga pernah memaksa kalian belajar kimia terus? Saya hanya sering meminta kalian belajar, terlepas dari belajar apapun itu. Kimia, biologi, matematika, bahasa, dll. Belajar apa yang kalian suka."
"Ada hal yang sulit dipaksakan di dunia ini. Hanya saja kurikulum seolah tutup mata dan memaksa kita untuk bisa banyak hal. Membuat kita mau tidak mau harus bisa semua mata pelajaran. Terasa percuma kalau saya hanya bisa bahasa inggris. Saya harus bisa semua."
"Masa SD dan SMP saya masih bisa terlalui dengan baik. Minimal semua mata pelajaran masih dibawah kendali otak saya. Tapi menginjak SMA, saya menyadari bahwa ada satu mata pelajaran yang benar-benar menyita perhatian saya. Membuat saya sampai tidak habis pikir, kenapa bisa sesulit ini? Satu mata pelajaran yang bahkan sering kali tidak perlu 'kata' untuk menyampaikan maksudnya. Hanya angka. Hanya menyodorkan 'persamaan' matematika dan meminta kita untuk mengisi titik-titiknya."
"Saya mengutuk diri sendiri. Menyadari bahwa 'ini tidak akan keren kalau gagal matematika'. I have tried. Hard. Mungkin mereka yang suka matematika akan bilang 'kamu hanya kurang berusaha'. Tapi saya bahkan berusaha melampaui limit saya. Saya malas ikut les tambahan di luar jam sekolah, hanya malas untuk semakin terlihat bodoh. Di kelas sudah lebih dari cukup."
"Perjuangan? Saya memang bukan pejuang, tapi saya tau bagaimana berjuang. Saya sudah belajar, memfotokopi buku les teman yang paling rajin, memahami setiap detil angka-angka yang menari di hadapan saya, dan segala perjuangan yang dilakukan seorang anak SMA. Kalian tau kan? Tapi kenapa ya masih saja kesulitan? Bahkan terserah mau percaya atau tidak, saat ulangan matematika, saya hanya yakin benar 10 jawaban diantara 40 soal yang disuguhkan. Dan sebelum pembagian rapor, saya bilang ke ibu saya 'Bu, matematikanya sulit. Jangan marah kalau nilainya hancur', beruntungnya ibu hanya menggangguk".
"So, ketika saya bilang 'saya tidak suka matematika' bukan berarti saya tidak pernah berusaha. Tidak semua orang harus bisa semua hal. Tapi jangan sampai ini jadi alasan kalian. Jangan jadikan ini pembenaran atas nilai-nilai kalian yang bahkan tidak pernah mencapai ketuntasan."
"Saya tidak suka matematika. Tapi kurikulum ini tidak peduli. Saya tetap dituntut untuk lulus dengan nilai di atas standar. Kata tidak sukamu tidak akan merubah apapun, selain pola pikir. Tidak suka bukan berarti tidak pernah suka. Hanya, sudah berusaha suka, tapi sulit."
"Wajar kalau saya marah ketika kalian tidak pernah bisa kimia. Kalau kalian pernah mencoba, saya akan bersikap layaknya gentleman. Kalian sudah mencoba, tapi sulit. Oke bagian mana yang sulit? Mari kita atasi sama-sama. But the fact is... Kalian bahkan menyerah sebelum berperang! Jangan pernah bilang tidak suka kalau belum pernah menyukainya. Atas dasar apa kalian tidak suka? Saya perlu alasan untuk ketidaksukaan itu."
"Sikap apa yang harus seorang guru ambil kalau mengetahui anak muridnya bahkan tidak pernah membaca buku detik-detiknya?. Menjawab soal hanya mengandalkan internet. Internet itu dijadikan pilihan terakhir, Dek. Setelah kalian khatam buku pelajaran kalian. Sayangnya, buku tidak pernah menjadi pilihan kalian. Bahkan yang ternyata jadi pilhan terakhir kalian adalah guru. How I am supposed to do? Pertanyaan 'bukunya sudah dibaca?' sama bodohnya dengan pertanyaan 'masih ingat namamu siapa?'. Sang penanya sebenarnya menyindir, bukan mau nanya."
"Saya tidak suka matematika. Tapi saya tetap bisa mengetahui nilai x dalam persamaan 2x + 10 = 8. Saya tetap bisa menghitung akar, integral, dan diferensial. Saya pernah berusaha memahami logaritma dan rekan-rekannya. Saya tidak suka matematika, tapi sampai kuliah pun ada mata kuliah 'matematika kimia', 'kalkulus', dan 'statistika dasar".
"Saya tidak suka matematika, bukanlah sebuah pembenaran atas kegagalan saya pada mata pelajaran ini. Justru ini pemicu. Bagaimana merubah paradigma tidak suka menjadi suka."
"Saya juga tidak suka olahraga, tidak suka main voli, main basket, sepak bola dll. Saya cuma suka lari! Karena cuma itu satu-satunya yang bisa saya lakukan. Walaupun habis lari, kaki rasanya mau meledak. Saya tidak suka olahraga, tapi saya tetap berusaha bisa. Ujian praktik voli. Harus bisa servis bawah melewati net dan sampai di tempat yang tepat. Saya tidak suka voli! Servis saja tidak pernah sampai melewati net!. Tapi apakah kemudian saya menyerah? Hari H bilang sama guru olahraga saya 'Pak I cant handle it so far. I've sufferd a lot in your lesson. I dislike voli Pakk.. Apalagi nyervis' seperti ini?. Nay. Setiap ke sekolah sore, setelah latihan nari, saya belajar servis. Minta ajarin teman saya yang jago voli. Setiap dapat kesempatan megang bola, saya latihan."
"Paham kan maksud saya?"
Anak-anak masih duduk diam, sesekali memainkan pulpen. Mencoret yang sebenarnya mereka pun tidak tau sedang mencoret apa.
Sang guru menghela napas, "Tidak sukanya kalian terhadap sesuatu, apalagi pelajaran, tidak akan merubah apapun, kecuali masa depan kalian. Kalian tidak suka kimia, kimia toh akan tetap jadi satu dari menu ujian nasional. Jadi buat apa repot-repot menyatakan ketidaksukaan?"
"Kalau kalian bertanya, 'Bu, untuk apa sih belajar reaksi redoks? Saya kan mau kuliah di jurusan hukum!', itu sama saja seperti pertanyaan saya di masa lalu, 'untuk apa belajar trigonometri kalau nanti saya kuliah jurusan bahasa inggris?'. Sekali lagi saya tegaskan, kurikulum itu jahat, Dek. Kalian harus bisa semuanya. Artinya, walaupun kalian protes, reaksi redoks tetap harus dikuasai sebagai syarat lulus ujian nasional. Walau tidak semua materi pelajaran dipakai nanti di masa depan, kita masih perlu itu untuk lulus sekolah."
"Jadi mulai sekarang belajarlah sungguh-sungguh. Kalaupun tidak suka, belajarlah, sukailah. Kalian perlu nilai dan pemahaman yang baik. Minimal untuk lulus dari sekolah ini."
"Jangan tutupi ketidakmampuan kalian melawan penyakit kalian dengan mengatakan 'tidak suka'. Jika suatu saat kalian gagal, jangan pernah sekalipun berdalih lantaran tidak suka makanya gagal. Penyakit kalian tidak akan selamanya bisa disembunyikan. Penyakit itu bernama malas."
Sang guru pun melenggang ke luar kelas. Meninggalkan muridnya yang tetap diam. Entah karena bingung, atau mendadak sadar.
Comments
Post a Comment