Assalamu’alaikum Blogger!
Happy weekend!
Pada kesempatan kali ini saya akan mengangkat
sebuah topik yang sedang ramai di media massa. Berita mengenai guru yang
dianiaya oleh siswa dan ayah sang siswa itu sendiri. Wow, horor ya? Untuk saya yang berprofesi jadi
guru, berita ini cukup membuat gugup juga sih. Soalnya akhir-akhir ini saya suka
menghukum siswa push up, kali aja siswa dendam terus ngadu. -___-
Sebenarnya berita penganiayaan ini satu dari
sekian daftar panjang berita kekerasan antara guru dan murid di Indonesia. Sebelumnya
ada berita tentang guru yang dipenjarakan karena mencubit murid sampai biru,
ada juga berita pembunuhan seorang dosen oleh mahasiswanya sendiri, dan masih
banyak lagi.
Hei. Ada apa dengan pendidikan Indonesia?
Mari kita menelusuri permasalahan ini (versi
saya).
Punishment atau hukuman merupakan bentuk
imbalan untuk siswa. Sebenarnya bentuk imbalan itu ada dua, ada punishment dan reward. Untuk reward jelas ditujukan bagi siswa yang berprestasi,
sedangkan punishment ditujukan untuk
siswa yang melakukan kesalahan. Kenapa harus dikasih imbalan? Tujuannya tidak
lain untuk memacu semangat siswa agar lebih berprestasi lagi, dan memberikan
efek jera bagi mereka yang mendapat hukuman.
Untuk reward
sendiri saya rasa tidak ada masalah, sejauh ini belum ada pemberitaan seorang
siswa demo ke guru setelah dikasih piala dan piagam bukan? Lah masa ada yang
tidak suka kalau dikasih hadiah? Nah yang saat ini tengah menjadi sorotan
adalah pemberian punishment atau
hukuman.
Sejatinya istilah ‘dihukum di sekolah’ sudah
ada sejak dulu sekali. Coba tanyakan orang tua kita, pasti dulu ketika sekolah
sering mendapat hukuman. Hukumannya juga mengarah ke hukuman fisik, mulai dari
dicubit, dijewer, dipukul, disuruh lari keliling lapangan, berdiri menghormati
tiang bendera, dsb. Banyak sekali hukumannya. Tapi apakah dulu ketika dihukum
mereka lantas lapor ke orang tuanya? Tidak. Justru kalau ada yang nekat lapor,
hukumannya malah jadi dobel di rumah. Nah, bagaimana dengan saat ini? Kenapa anak-anak
yang dihukum itu ketika mengadu, justru dibela oleh orang tuanya?
Hari ini menghukum siswa, besok orang tuanya
mencak-mencak ke guru karena anak emasnya dihukum di sekolah. Jadi serba salah
kan ya?
Kehidupan pendidikan saat ini memang berbeda,
Kawan. Pendidikan saat ini bukan seperti pendidikan beberapa puluh tahun lalu. Orang
tua siswa yang sekarang bukan seperti orang tua siswa yang dulu. Orang tua yang
sekarang lebih mendominasi pendidikan
anak, lebih pintar mengkritisi kerja guru, lebih mahir protes ke sekolah. Kenapa
bisa demikian?
Menurut saya, ini disebabkan latar belakang
pendidikan orang tua siswa yang sekarang tidak seimbang dengan akhlaknya. Hampir
sebagian besar orang tua siswa menyandang titel strata 1, srata 2, sampai
strata 3, tapi yang disayangkan, akhlaknya kadang tidak setinggi titel itu. Secara
teori, IPK, dan lamanya mengenyam pendidikan membuat mereka merasa paham betul akan dunia pendidikan di
sekolah. Itulah sebabnya mereka merasa lebih pintar dari guru, lebih paham
metode mengajar ketimbang sang guru sendiri, dan lebih menguasai urusan sekolah.
Maka ketika ada hal yang dirasa tidak sesuai dengan teori yang mereka miliki,
mereka akan berani angkat bicara.
Banyak orang pintar, tapi sedikit sekali yang
berakhlak. Akibatnya lahir lah mereka-mereka yang bisanya ‘ngomong doang’,
takabur, kritikus hebat, mudah menjatuhkan orang lain, mudah merendahkan orang
lain. Lah lantas apa yang harus dibanggakan dari ‘pendidikan’ mereka itu
sendiri?
Pertama kali bertemu siswa di kelas, saya
menekankan pentingnya akhlak dan sikap, ketimbang kejar-kejaran mendapatkan
nilai akademis. Saya katakan “tidak apa kalian dapat nilai 50 60 di mata
pelajaran saya, yang penting kalian jangan ribut, jangan nakal, dan tetaplah
menjaga sopan santun”. Jadi enak kan kalau belajar sama saya, yang penting diem
dan penurut aja. Hehe.
Hematnya, karena orang tua siswa merasa punya
pendidikan yang setara dengan sang guru, mereka merasa berada di pihak yang
benar. Terlalu malas untuk mendengarkan duduk perkara dari sudut pandang sang
guru, dan lebih suka main hakim sendiri. Menurut saya seperti itu.
Lantas apakah salah kalau orang tua siswa punya
pendidikan yang tinggi? Jelas tidak, justru bagus. Bukankah rumah itu madrasah
pertama bagi sang anak? Semakin tinggi pendidikan orang tua, diharapkan anaknya
nanti akan mengikuti jejak mereka. Namun yang jadi masalah disini adalah,
akhlak dan pemahaman orang tua siswa yang perlu sedikit diluruskan. Sebaiknya pendidikan
mereka pun harus dibarengi dengan akhlak yang baik.
Bagaimana dengan sang guru? Apakah boleh
menampar siswa? Honestly, mungkin itu kurang baik bagi mental siswanya, karena perbuatan
sang guru itu semacam pembenaran bahwa kekerasan boleh dilakukan. Mungkin bisa
diganti hukuman lain, seperti lari keliling lapangan, atau apalah yang
sekiranya lebih aman. Hukuman tetap
harus diberlakukan. Karena hukuman itu tujuannnya baik, sebagai bentuk tanggung
jawab atas kesalahan yang dilakukan siswa, menimbulkan efek jera, dan hukuman membuktikan
pada siswa bahwa di dunia ini ada keadilan yang ditegakkan. Hukuman pun melatih
mental siswa agar tidak bermental tempe.
Biar bagaimana pun, siswa-guru-orang tua adalah
rantai yang tidak boleh putus. Semua saling membutuhkan, saling melengkapi. Kalau
ada hal yang mengganjal, sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan, dibicarakan
dengan penuh hikmah. Bukan dengan main kekerasan. Siswa itu bibit yang perlu
dididik dengan baik. Diberikan pemahaman yang baik. Diajarkan dengan cara yang
baik. Dan kalau orang tua bersikukuh merasa selalu benar, kenapa tidak
mengajari anaknya sendiri? Bukankah mereka lebih memahami karakter anaknya? Bukankah
mereka merasa lebih mahir mengajar?
Guru memang tidak sepenuhnya benar, kadang
mereka pun punya urusan pribadi yang terbawa ke kelas, sehingga berdampak pada
mood di kelas. Metode mengajar guru pun masih banyak yang perlu dibenahi. Ini pe-er
bersama. Ketimbang mencetuskan ide full day school yang akan merenggut masa
muda saya, kenapa kita tidak membenahi carut marut pendidikan kita dulu?
Well, ada
banyak hal yang perlu dikaji ulang dari pendidikan di negeri kita. Semoga
semua pemberitaan menyedihkan ini membuat kita berkaca dan intropeksi. Diharapkan
ke depannya tidak ada lagi kasus serupa.
Saya rasa cukup pembahasan postingan ini. Maaf kalau pemahaman saya dan Anda berbeda. :)
Dari seorang guru yang perlu banyak belajar.
Comments
Post a Comment