Skip to main content

Anak Kedua yang Menyimpan Tangis (1)

Hingga di hari senin malam itu, aku bertanya pada diriku sendiri, perihal apa yang ku takutkan. 
Aku takut bapak pergi
Tapi itu kan hal yang memang akan terjadi? Takdir Allah.
Dan kalau takdir itu menyapaku, pasti Allah tau aku mampu. 
Begitulah kira kira self talk ku malam sebelum aku terlelap. 

***

Jam 3 dini hari lagi dan lagi. Bapak muntah. Aku berharap ini mimpi, tapi tidak. 
Ibu mengetuk kamarku dengan mengatakan, dek bapak mau ibu bawa aja ke IGD lagi. 
Aku bangun dan menarik napas. Bismillah. Nggak apa apa. 

Aku langsung bergegas ke luar menyiapkan apa yang bisa ku siapkan. 

Jam 7 pagi itu, ibu dan bapak ke IGD lagi. Hujan deras di luar. Rumah kosong. 

Aku berberes rumah, karena ku pikir kali ini kami harus rawat inap. Jadi ku bereskan rumah semampuku, sambil terisak. 

Jam setengah sembilan aku menggunakan jas hujan berangkat ke IGD. Menyusul. 

Aku menunggu di luar, menguatkan diriku pada semua kemungkinan. Tak apa. Aku pasti bisa. Begitulah afirmasi diriku. 

Panggilan telepon masuk. Ibuku bilang, dek kesini dokternya mau jelasin. Ibu nggak ngerti. 

Iya, jawabku kuat. 

Aku pun menghampiri dokternya, dokternya membawa kertas hasil lab, sambil masih ngobrol bersama temannya. Aku gugup. Napasku sesak. Air mataku menggenang. Astaghfirullah. Kenapa? Ya Allah... Aku takut. Aku nggak kuat ternyata.

Dokternya menghampiriku dan menjelaskan kalau bapak kondisinya begini. 

Aku berusaha fokus, di saat semua pandangan di depanku mengabur. Tapi demi hasil tes yang cukup aman, aku berhasil membendung genangan air mataku. 

Singkat cerita, bapak lagi lagi disuruh pulang saja, besok ke poli penyakit dalam, hari ini boleh pulang. 

Aku bergegas menuju ke dokter praktik untuk minta surat rujukan. Di sepanjang jalan aku menangis. Aku kelelahan. 

***

Bapak dan ibu masih menunggu infus di IGD. 
Aku duluan pulang. Tak lama temanku mampir karena tau keadaanku. 

Dan aku dengan tersenyum masih bisa menyuruh ia masuk. Tapi sebentar kemudian aku menangis. Tumpah sudah pertahananku sejak kamis itu. Aku lelah, kak. Aku mengadu pada temanku.

Ia juga ikut menangis, sambil berusaha menyabarkanku. 

***

Bagaimana aku dan ibu tidak lelah? 
Kami perempuan berdua yang bisa diandalkan di rumah saat itu. 
Si bungsu terlalu jauh dari kata tanggung jawab untuk mengemban amanah ini. 

Tidak ada yang bisa kami ajak diskusi, hanya aku dan ibu. Berdua. Kami sama bingungnya. Kami sama paniknya. Kami sama rapuhnya. 

Ku kira aku bisa merelakan bapak pergi, tapi aku lemah juga. Baru saja di hadapkan pada hasil lab, aku sudah berlinang air mata dan kehilangan pegangan. Apalagi kalau sungguh berhadapan pada tubuh kaku bapak?
Pun pada secarik kertas diagnosa saja aku hampir terduduk tak berdaya. 

Dan selama bapak sakit, ibu juga kelelahan. 
Aku semakin dipaksa harus kuat.

Malamnya aku sambil mengantri di dokter atas nama bapakku, aku berkirim pesan dengan kakakku. 
Dia bilang, ya yang sabar, titip bapak ibu dulu. 
Kalau saja aku tidak sedang duduk bersebelahan dengan pasien lain, aku pasti sudah menangis. Aku ingin sekali mengatakan padanya, nggak mau. Aku nggak mau dititipi. Aku lelah. Aku bingung. Kamu harus kesini, menggantikan aku. Aku takut. 

***

Hari rabu pagi keesokan harinya. Aku terpaksa pergi bekerja. 

Tapi baru beberapa menit di tempat kerja, aku menangis di hadapan teman temanku. Menangis tergugu.

Di hadapan siswa yang ku ajak diskusi pun, ketika aku menyampaikan alasan kenapa aku tidak bisa masuk kelas sekarang, aku lagi lagi berkaca kaca. Sampai mereka bingung dan menepuk pundakku. 

Aku sejatinya penakut cengeng dan lemah. Tapi aku menjadi kuat, cuek, dan sok tenang ketika di rumah. Di hadapan bapak ibuku atau si bungsu. 
Aku tidak boleh menangis. Karena hal tersebut hanya akan menambah beban di rumah. 

Maka ketika aku di kantor. Di hadapan teman temanku, aku tidak mampu lagi memakai topeng ini. Biarlah aku menumpahkan semua kelelahan dan ketakutanku. Aku sungguh tidak bisa lagi berpura pura kuat. 

Sungguh satu hari yang ajaib dan melankolis. 

***

Sampai akhirnya semua bebanku sirna, ketika hari kamis pagi ada si kecil Mayam dan kakakku datang.
Hari itu aku pertama kalinya bisa tidur siang di kamar setelah berhari hari jungkir balik terjaga. 

Dan aku menyadari, bagaimana beban kakakku sebagai anak perempuan pertama yang begitu besar. 

Seketika ada kakakku, aku dan ibu beristirahat. Bernapas lega. Bisa tidur tenang. 
Rumah memang begini seharusnya. Lengkap. 

***

Begitulah ceritaku yang penuh air mata di bulan oktober. 
Sungguh bulan yang tak mudah. 
Terlebih menahan tangis di saat aku memang ketakutan dan bersedih. :'(

Tapi kini semua sudah membaik. 
Bapak berangsur angsur sehat. Ibu pun sama. Kakakku dan Mayam sudah kembali merantau lagi. Aku dan si bungsu mulai sibuk lagi. 

Pada semua kejadian menyakitkan ini, sabar dan shalat adalah solusi.
Allah pasti melapangkan dan menguatkan. 
Selama kita berserah dan bertawakal. 

Bismillah. 
Semangat wahai manusia manusia kuat💜
Pertolongan Allah itu dekat. 

QS. Al-Baqarah Ayat 155 "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar... "

QS. Al-Baqarah Ayat 214 "Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat."

Comments

Popular posts from this blog

Paska Ujian Kompre

Bismillah... telah menyelesaikan ujian komprehensif selama tiga puluh menit dengan baik. You are really doing fine! :) Setelah menerjang badai di akhir desember sampai pertengahan maret, yang ternyata masih menyisakan hujan lebat hingga bulan mei kemarin, aku sungguh basah kuyup dan kedinginan. Tapi aku bertahan, bahkan dengan kekuatanku yang tidak seberapa, aku memberanikan diri ikut PPG. Masya Allah. Kalau diingat-ingat, kuasa Allah sangat besar padaku :') Perjalanan yang sangat sangat tidak mudah. Hm...sekian intronya ya. Hihi.  *** Anyway, sebelum ujian komprehensif hari ini, selasa malamnya temen temen di grup kim A ada beberapa yang bermaaf-maafan. Disitulah aku mulai sedih juga. Karena aku baru pertama kali menjalani pendidikan ini (dan ku rasa semua orang juga menjalani yang pertama dan terakhir kalinya), aku clueless untuk tau setelah ini tahapannya apa, setelah ini bagaimana, dll. Tapi sepertinya setelah ini ya kami akan pe-pe-el dan bakal masuk di kelompok yang lebih kec

Semua Aku Dirayakan💜

Terkadang hal sepele untuk kita, bisa sangat berharga bagi yang lain. Ditulis di hari jumat, sehari sebelum hari guru. Hari yang ku takuti :') Hari guru menjadi sakral untukku setelah aku jadi guru, 7 tahun yang lalu. Sejak itu, tiap bait lagu hymne guru selalu bermakna. Merayakan hari guru seyogyanya bukanlah kewajiban siswaku, tapi entah kenapa aku terluka bila mereka tak merayakannya bersamaku. Aku benci perasaanku ini. Aku minta maaf telah membebani mereka. Dan teman sejawatku pun begitu. Mereka bilang, "anak anak tidak perlu kasih hadiah, eh tapi kalau tidak dikasih kok sedih juga. Lihat yang lain dikasih, kok aku tidak". Begitulah hati guru, fragile nan rapuh.  Sebenarnya bukan kadonya yang membuat hari guru spesial, tapi melihat usaha mereka merayakan hari guru, membuatku terkesan. Anak anak boleh mengatakan, "ibu maaf tidak membelikan kado, kami sayang ibu, selamat hari guru", itu pun tak apa. Aku menyukainya. Anak anak boleh hanya mengucapkan, boleh mem

Tulisan oleh Ust. Salim A. Fillah

Tulisan ini keren dan heart warming. "Mainkan Saja Peranmu, Tugasmu Hanya TAAT kan?!" Oleh : Salim A. Fillah Ketika ijazah S1 sudah di tangan, teman temanmu yang lain sudah berpenghasilan, sedangkan kamu, dari pagi hingga malam sibuk membentuk karakter bagi makhluk yang akan menjadi jalan surga bagi masa depan. Mainkan saja peranmu, dan tak ada yang tak berguna dari pendidikan yang kau raih, dan bahwa rezeki Allah bukan hanya tentang penghasilan kan? Memiliki anak-anak penuh cinta pun adalah rezeki-Nya. Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?