Hingga di hari senin malam itu, aku bertanya pada diriku sendiri, perihal apa yang ku takutkan.
Aku takut bapak pergi.
Tapi itu kan hal yang memang akan terjadi? Takdir Allah.
Dan kalau takdir itu menyapaku, pasti Allah tau aku mampu.
Begitulah kira kira self talk ku malam sebelum aku terlelap.
***
Jam 3 dini hari lagi dan lagi. Bapak muntah. Aku berharap ini mimpi, tapi tidak.
Ibu mengetuk kamarku dengan mengatakan, dek bapak mau ibu bawa aja ke IGD lagi.
Aku bangun dan menarik napas. Bismillah. Nggak apa apa.
Aku langsung bergegas ke luar menyiapkan apa yang bisa ku siapkan.
Jam 7 pagi itu, ibu dan bapak ke IGD lagi. Hujan deras di luar. Rumah kosong.
Aku berberes rumah, karena ku pikir kali ini kami harus rawat inap. Jadi ku bereskan rumah semampuku, sambil terisak.
Jam setengah sembilan aku menggunakan jas hujan berangkat ke IGD. Menyusul.
Aku menunggu di luar, menguatkan diriku pada semua kemungkinan. Tak apa. Aku pasti bisa. Begitulah afirmasi diriku.
Panggilan telepon masuk. Ibuku bilang, dek kesini dokternya mau jelasin. Ibu nggak ngerti.
Iya, jawabku kuat.
Aku pun menghampiri dokternya, dokternya membawa kertas hasil lab, sambil masih ngobrol bersama temannya. Aku gugup. Napasku sesak. Air mataku menggenang. Astaghfirullah. Kenapa? Ya Allah... Aku takut. Aku nggak kuat ternyata.
Dokternya menghampiriku dan menjelaskan kalau bapak kondisinya begini.
Aku berusaha fokus, di saat semua pandangan di depanku mengabur. Tapi demi hasil tes yang cukup aman, aku berhasil membendung genangan air mataku.
Singkat cerita, bapak lagi lagi disuruh pulang saja, besok ke poli penyakit dalam, hari ini boleh pulang.
Aku bergegas menuju ke dokter praktik untuk minta surat rujukan. Di sepanjang jalan aku menangis. Aku kelelahan.
***
Bapak dan ibu masih menunggu infus di IGD.
Aku duluan pulang. Tak lama temanku mampir karena tau keadaanku.
Dan aku dengan tersenyum masih bisa menyuruh ia masuk. Tapi sebentar kemudian aku menangis. Tumpah sudah pertahananku sejak kamis itu. Aku lelah, kak. Aku mengadu pada temanku.
Ia juga ikut menangis, sambil berusaha menyabarkanku.
***
Bagaimana aku dan ibu tidak lelah?
Kami perempuan berdua yang bisa diandalkan di rumah saat itu.
Si bungsu terlalu jauh dari kata tanggung jawab untuk mengemban amanah ini.
Tidak ada yang bisa kami ajak diskusi, hanya aku dan ibu. Berdua. Kami sama bingungnya. Kami sama paniknya. Kami sama rapuhnya.
Ku kira aku bisa merelakan bapak pergi, tapi aku lemah juga. Baru saja di hadapkan pada hasil lab, aku sudah berlinang air mata dan kehilangan pegangan. Apalagi kalau sungguh berhadapan pada tubuh kaku bapak?
Pun pada secarik kertas diagnosa saja aku hampir terduduk tak berdaya.
Dan selama bapak sakit, ibu juga kelelahan.
Aku semakin dipaksa harus kuat.
Malamnya aku sambil mengantri di dokter atas nama bapakku, aku berkirim pesan dengan kakakku.
Dia bilang, ya yang sabar, titip bapak ibu dulu.
Kalau saja aku tidak sedang duduk bersebelahan dengan pasien lain, aku pasti sudah menangis. Aku ingin sekali mengatakan padanya, nggak mau. Aku nggak mau dititipi. Aku lelah. Aku bingung. Kamu harus kesini, menggantikan aku. Aku takut.
***
Hari rabu pagi keesokan harinya. Aku terpaksa pergi bekerja.
Tapi baru beberapa menit di tempat kerja, aku menangis di hadapan teman temanku. Menangis tergugu.
Di hadapan siswa yang ku ajak diskusi pun, ketika aku menyampaikan alasan kenapa aku tidak bisa masuk kelas sekarang, aku lagi lagi berkaca kaca. Sampai mereka bingung dan menepuk pundakku.
Aku sejatinya penakut cengeng dan lemah. Tapi aku menjadi kuat, cuek, dan sok tenang ketika di rumah. Di hadapan bapak ibuku atau si bungsu.
Aku tidak boleh menangis. Karena hal tersebut hanya akan menambah beban di rumah.
Maka ketika aku di kantor. Di hadapan teman temanku, aku tidak mampu lagi memakai topeng ini. Biarlah aku menumpahkan semua kelelahan dan ketakutanku. Aku sungguh tidak bisa lagi berpura pura kuat.
Sungguh satu hari yang ajaib dan melankolis.
***
Sampai akhirnya semua bebanku sirna, ketika hari kamis pagi ada si kecil Mayam dan kakakku datang.
Hari itu aku pertama kalinya bisa tidur siang di kamar setelah berhari hari jungkir balik terjaga.
Dan aku menyadari, bagaimana beban kakakku sebagai anak perempuan pertama yang begitu besar.
Seketika ada kakakku, aku dan ibu beristirahat. Bernapas lega. Bisa tidur tenang.
Rumah memang begini seharusnya. Lengkap.
***
Begitulah ceritaku yang penuh air mata di bulan oktober.
Sungguh bulan yang tak mudah.
Terlebih menahan tangis di saat aku memang ketakutan dan bersedih. :'(
Tapi kini semua sudah membaik.
Bapak berangsur angsur sehat. Ibu pun sama. Kakakku dan Mayam sudah kembali merantau lagi. Aku dan si bungsu mulai sibuk lagi.
Pada semua kejadian menyakitkan ini, sabar dan shalat adalah solusi.
Allah pasti melapangkan dan menguatkan.
Selama kita berserah dan bertawakal.
Bismillah.
Semangat wahai manusia manusia kuat💜
Pertolongan Allah itu dekat.
QS. Al-Baqarah Ayat 155 "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar... "
QS. Al-Baqarah Ayat 214 "Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat."
Comments
Post a Comment