30 desember 1993 kala itu. Aku terlahir bersama ribuan bayi mungil di luar sana.
Lahir sebagai bayi normal nan sehat.
Menghirup udara yang lebih menyejukkan. Merasakan ruang yang lebih lapang.
Aku menjadi jawaban yang ditunggu ibu selama sembilan bulan mengandungku.
Diperdengarkan adzan sebagai tanda kepatuhan pada Rabb-ku.
Diberi nama sebagai doa dan impian ayah ibu.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Setiap detik hidupku, aku dan semua manusia di belahan bumi manapun selalu dijaga malaikat.
Di setiap malam kita terbaring pulas, ada doa ibu yang selalu menyelimuti.
Dibesarkan dengan untaian doa doa terbaik.
Dibahagiakan dengan kebesaran hati Tuhan yang Maha Baik.
Diberi makan dan minum dari rejeki yang halal.
Dianugerahi nikmat anggota tubuh yang sehat dan lengkap.
Dilindungi dengan cinta dan harapan.
Direngkuh dengan kasih dan sayang.
Ketika usiaku menginjak lima tahun, ibu mempercayakan pendidik di luar sana untuk mengajariku bermain, bernyanyi, dan bersosialisasi.
Duhai, ibu. Sungguh besar jasamu padaku.
Begitu besar cinta dan sayangmu hingga menjadikan aku sehebat ini.
Ayah pun begitu, ayah yang selalu mendengar ceritaku, ayah yang selalu menguatkan aku.
Ayah yang selalu menceritakan kembali diriku di hadapan semua rekannya dengan penuh rasa bangga.
Tak akan ada ayah di luar sana yang tidak melakukan hal demikian.
Satu tahun terlalui. Tibalah masanya aku harus bersekolah di sekolah dasar. Sungguh enam tahun yang melelahkan. Tapi di satu sisi, mengembirakan. Aku punya banyak teman dan kenalan. Punya banyak guru yang menjadi teladan. Punya banyak kisah yang kalau dikenang, bisa memunculkan perasaan sedih, sesal, rindu, dan bahagia di saat yang bersamaan. Masa-masa dimana aku dan teman sebayaku lebih menyukai cerita horor picisan, bersepeda kesana kemari sampai kulit menghitam, atau sekedar main kasti dan menyisakan banyak bekas bola di baju seragam.
Masa yang menyenangkan.
Karena di masa itu, telepon seluler dengan layar kuning dan berantena sudah menjadi gadget paling happening di jamannya.
Saatnya melepas atribut merah putih dan mulai menyandang status ABG. Tuhan yang terlampau baik memberikan hadiah lainnya padaku. Masuk di salah satu jajaran sekolah terbaik dengan mudah, dan bertemu dengan banyak anak-anak baik di sana. Tidak hanya bersekolah, bisa berprestasi di sana juga seolah merupakan impian yang mendadak jadi kenyataan. Masya Allah. Tapi inilah fase luar biasa dalam hidup yang perlu sangat disyukuri. Disinilah aku mulai belajar banyak hal. Belajar rasanya disayangi, diperlukan, juga belajar rasanya dibuang dan diabaikan. Belajar berpuas diri walau punya banyak teman yang hidupnya sangat berkecukupan.
Setidaknya ini lebih baik, ketimbang banyak anak di luar sana yang punya hidup lebih berat.
Aku hanyalah anak rumahan yang hidupnya dipermudah.
Banyak bagian di fase ini yang sebenarnya ingin dimusnahkan, tapi terlanjur melekat erat dalam ingatan.
Semisal harus ikut ujian menyanyi yang padahal suaraku bisa membuat selera makan yang mendengarnya seketika lenyap. Duh. Semoga yang lain sudah mulai lupa bagian jelekku.
Masa berikutnya. Masa putih abu-abu yang abu-abu. Karena ada ribuan perasaan campur aduk yang andai bisa, perlu dibakar habis. Bersyukur pada Tuhan (lagi) karena bisa menjadi bagian dari anak smansa, yang katanya sekolah ini cukup bergengsi di masanya. Coba saja kamu sebut nama 'smansa', maka decak kagum saja yang akan kamu dengar dari mereka.
Masuk tanpa tes. Masuk dengan bekal nilai ujian murni dan esok harinya membuatku bertransformasi menjadi anak smansa.
Duhai hidup. Kenapa semudah ini?
Tapi ada bagian lain yang perlu kamu dengar disini. Kamu harus banyak-banyak merendah, bukan karena kamu tinggi, tapi karena semua temanmu memang terlampau tinggi. Latihan tiga tahun di sekolah menengah pertama kurasa tidak cukup. Sebagian besar temanku (kalau boleh ku sebut mereka teman) adalah anak-anak dengan membawa nama besar ayah ibunya. Aku bukan apa-apa dan kamu pun begitu.
Namun, ada mata uang paling mujarab yang berlaku di belahan bumi manapun, yaitu kecerdasan. Kalau kamu bukan anak siapa-siapa, kamu tak punya apa-apa, satu-satunya cara untuk bertahan dan menjadi 'orang' di sekolah ini yaitu kamu harus pintar. Sulit memang, kejam terdengar, tapi Sayang, memang begitulah kenyataan pahitnya. Atau pilihan terakhir, kamu hanya perlu menjadi anak supel sedunia dan dikenal di sekolah ini. Sayangnya, aku tidak menjadi salah satunya. Ah tapi tak mengapa. Walau menjadi penduduk kasat mata, minimal aku punya sedikit cerita yang bisa ku sombongkan kelak. Bukankah semua orang berhak sombong karena telah menjadi anak smansa?
Terima kasih pada sosial mediaku karena berbaik hati merekam semua tingkah alay-ku di masa ini. Termasuk semua unggahan foto-foto dan semua status yang berhamburan di dunia maya.
Masa SMA ini ku habiskan dengan belajar, bermain, menari, dan menemani temanku yang kerap patah hatinya. Unfortunately, aku pun begitu. Menjelma menjadi anak yang paling mudah patah hati dan menjadi anak cengeng yang menangisi anak laki-laki yang sok jagoan. Lucu memang hidup ini.
Di masa ini, aku menikmati semua lika likunya dengan wajah orang lain. Aku masih belum menjadi diriku sendiri. Aku hanyalah anak smansa dengan hati berkabut rasa tidak percaya diri yang begitu besar.
Begitulah aku tumbuh dan menghabiskan jatah usia belasan tahunku.
Palangka Raya menjadi saksi bisu bagi perubahanku.
Aku mulai membuka sedikit demi sedikit sisi lain diri ini. Terberkatilah kota ini dan semua orang di dalamnya. Aku menjadi diriku yang baru. Semua anak kimia angkatan 2011 mengenalku dengan baik, dan menerima apa adanya aku. Aku menemukan kepercayaan diriku yang selama ini hilang entah kemana. Aku diajarkan banyak hal menyenangkan, termasuk diajari untuk mencintai diriku apa adanya. Walau aku terus dituntut untuk bersaing tanpa henti. Berkompetisi sampai akhir. Karena ada banyak deadline yang harus terpenuhi. Masalah uang dan waktu.
Aku mulai membuka sedikit demi sedikit sisi lain diri ini. Terberkatilah kota ini dan semua orang di dalamnya. Aku menjadi diriku yang baru. Semua anak kimia angkatan 2011 mengenalku dengan baik, dan menerima apa adanya aku. Aku menemukan kepercayaan diriku yang selama ini hilang entah kemana. Aku diajarkan banyak hal menyenangkan, termasuk diajari untuk mencintai diriku apa adanya. Walau aku terus dituntut untuk bersaing tanpa henti. Berkompetisi sampai akhir. Karena ada banyak deadline yang harus terpenuhi. Masalah uang dan waktu.
Ku kira kuliah merupakan mimpi lain yang sulit ku wujudkan, tapi kemauan selalu berhasil membuka jalan. Kuliah ini ku lewati dengan manajemen uang yang buruk. Karena di akhir perkuliahan, tak ada sepeserpun uang tersisa. Tapi tak apa, yang penting aku berhasil meraih gelar sarjana tepat waktu. Terima kasih yang sedalam-dalamnya pada doa ayah ibu yang selalu berhasil menjangkau langit. Akhirnya anak cengeng mereka menjadi sarjana. Tentunya ada perubahan-perubahan yang ku peroleh di masa ini, salah satunya adalah hijab yang mantap ku kenakan. Dan rasa percaya diri yang kian mengakar kuat.
Satu pelajaran lain yang ku dapat ketika usiaku 20-an adalah aku mulai belajar mengikhlaskan. Banyak sekali hal yang hilang di hidupku. Banyak hal yang sejatinya bisa dijamah tangan, namun sangat mustahil termiliki. Aku pernah mengenggam tangan seseorang yang hatinya jauh di dasar lautan. Aku pernah memandang seseorang, yang di matanya ada bayangan orang lain. Aku pernah menangis tergugu untuk hati seseorang yang perlahan berubah. Semua rasa sakit yang tumpah ruah ternyata tidak bisa menyentuh hati yang membeku. Sebuah kesia-siaan adalah ketika kita berusaha mempertahankan orang yang tidak ingin dipertahankan.
Disinilah aku belajar kehilangan. Disini pula-lah aku belajar untuk menghargai pilihan.
Aku mencintai setiap fase hidupku.
Namun, selalu ada sesal yang terselip. Walau aku tau Tuhan begitu membenci kata "seandainya", tapi ingin rasanya ku katakan "seandainya aku bisa mengulang kembali waktu". Ada beberapa hal yang ingin aku perbaiki. Ada beberapa hati yang perlu disembuhkan.
Fase terakhir yang sampai detik ini masih ku jalani, fase aku menjadi seorang gadis berusia 20-an dengan pekerjaan dan penghasilan.
Aku menjadi gadis pendendam yang pelupa. Aku bisa mendendam dengan seseorang, tapi kemudian lupa dan tertawa bersamanya. Sedetik kemudian aku ingat kalau aku benci padanya dan merutuki ingatanku yang terlampau susah diajak kerjasama. Aku juga menjadi gadis yang begitu mencintai sepatu dan lipstik.
Ada luka yang disembunyikan dalam sebentuk tawa. Ada air mata yang ingin diredam sedalam-dalamnya. Ada harap yang ingin dibawa angin terbang sejauhnya. Tuhan, sulit sekali hidup di dunia ini dalam balutan pola pikir orang dewasa.
Pada fase ini, aku ingin sekali menutup mata dan telinga. Agar tak goyah prinsipku. Agar hatiku tidak sering remuk redam. Agar lisanku yang jelek ini tidak harus berucap. Ratusan kosa kata buruk yang berhasil ku simpan selama ini, aku tidak ingin membuatnya lepas kendali. Tapi keadaan kadang membuatku tidak bisa memilih. Hingga duduk dalam sendiri kadang lebih baik.
Ayah ibu. Semoga kalian tidak pernah tau bagaimana kadang dunia ini memperlakukan anakmu. Aku hanya ingin menunjukkan betapa hebatnya diriku dan menyembunyikan ketidakberdayaanku. Agar tidak letih hatimu memikirkanku.
Tapi di semua fase 24 tahun perjalanan hidupku, aku hanya ingin mengingat semua hal manisnya.
Semisal ada dosen baik hati yang sampai detik ini masih menyimpan kontakku dengan nama yang agak catchy. Atau ada dua orang siswaku yang memberikan aku dua potong tangkai bunga dan kue di hari guru (sayang fotonya terhapus). Ada juga sekumpulan anak-anak perempuan yang memberiku boneka Minion keesokan harinya. Padahal ketahuilah, bahwa aku bukan termasuk guru yang ramah di sekolah, dan baru aku tau ternyata aku masuk dalam jajaran guru killer (yakali aku killer -_- ).
Atau ada pula beberapa kalimat yang tersimpan baik di memori. Seseorang pernah mengatakan penyesalannya kepadaku, "Andai dulu kita ketemu ya saat di Palangka", sederhana bagi sebagian orang, tapi sarat makna. Dan ada salah seorang teman KKN ku yang dengan bangganya mengenalkanku pada temannya, ia mengatakan "Hei, kenalin nih teman KKN ku dulu, tadi dia maju di podium, IPKnya tinggi loh (Padahal IPK ku hasil pembulatan)".
Hihi.
Kalau saja aku tidak mempertimbangkan pembacaku dan jari jemariku yang lucu ini, sudah ku tulis semua hal membahagiakan dalam hidupku.
Termasuk ketika kemarin hari perpisahan, ada anak laki-laki yang menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang sedingin es begitu erat dalam sepersekian puluh detik. Karena ia tau, momen ini adalah momen pertama dan terakhir kali baginya. Besok guru berisiknya yang sangat menggemaskan ini memang tak lagi bisa digenggam tangannya.
Maka, Nak. Belajarlah menyadari bahwa ada banyak hal bisa kamu genggam, tapi tidak bisa kamu miliki. Hihi. Begitulah, Nak, hidup itu. Semua perisitiwa dan kejadian hanya ada sekali seumur hidup. Termasuk kesempatan melihat guru-mu ini tersenyum sepanjang hari di satu gedung bersamamu. Besok lusa, gurumu tidak akan pernah tau beban apa yang harus ia pikul, hingga mungkin seulas senyum di wajahnya hanya ada dalam ingatanmu saja.
Dan di hari yang sama jualah, air mataku selalu nyaris tumpah ketika harus memeluk siswaku dan mendengar ia meminta maaf sekaligus berterimakasih. Hatiku mencelos mendengarnya, aku bukanlah guru baik yang mengerahkan segenap waktu dan perhatianku untuk mereka. Harusnya aku yang mengatakan hal demikian padanya.
Dan perasaan yang sama juga ku rasakan ketika ada anak laki-laki yang kerap mengesalkan dan membuatku sakit mata dengan tingkahnya, justru di hari itu ia memberiku setangkai bunga. Malang benar nasib ibu, Nak. Hati ibu rasanya kelu karena kamu tidak membenci amarah dan teguran ibu selama ini. Sebagai balasannya, kamu memberikan ibu bunga. Terima kasih karena sudah mengingatkan gurumu ini, bahwa lebih baik menjadi pelita di kala gelap ketimbang menyimpan lara terlalu dalam.
Terakhir, ada momen yang dengan jahatnya membuat aku terkena sindrom bahagia sepanjang hari. Kala itu aku sedang sibuk mengetik soal, lalu seorang anak pemalu kesayanganku menghampiri. Menutup sebagian wajahnya dengan buku sembari berucap, "Ibu boleh minta foto". Entah ini pertanyaan atau pernyataan. Aku sempat terdiam sejenak. Sekedar memastikan, ini prank atau aku yang perlu ke THT? Because this moment is too good to be true. Tapi sedetik kemudian aku langsung berdiri dan mengiyakan. Demi keberaniannya yang luar biasa, aku segera menyanggupinya. Hihi. To be honest, aku merasa senang karena merasa diterima anak-anak dan dianggap penting, sampai mereka meminta foto bersama. Hm. Mudah sekali menyenangkan hati gurumu ini kan, Nak? Hihihi.
Dan aku sekali lagi merasa, mungkin menjadi guru memang pilihan baik untuk hidupku. Karena hanya dengan menjadi guru-lah, kejutan seperti ini akan datang. Karena profesi inilah, satu-satunya profesi yang memintamu bersikap profesional sedemikian rupa. Semoga semakin kesini, aku semakin menemukan alasan untuk tetap tinggal dan bertahan menjadi guru. Semoga tidak hanya menjadi guru saja, tapi guru yang baik yang bisa menjadi teladan.
Wahai hidup dan semua suka dukanya.
Ku mohon, berdamailah denganku dan jadilah mudah. Aku yang insya Allah sebentar lagi akan menuju 25 tahun hidupku. Aku yang sampai detik ini selalu berharap hidupku akan selalu baik-baik saja. Inginku sederhana, aku ingin berbahagia sampai di surga.
Semoga semua harapku menjadi kenyataan. Karena hidup terlalu berharga bila hanya diwarnai kesedihan, kan?
I dont have another photo :p |
Karena seseorang pernah menghiburku dengan kalimat, "Kamu pantas bahagia". Ah apalah ini kok nggak nyambung.
PS: Udah adzan. Baabbaiii love you❤❤
Anw. Tulisan ini sudah diketik beberapa hari yang lalu, tapi baru sempat ke posting today. Trims karena masih setia membaca blog ini~
Nuhun ya kalau isinya over narsis.
Nuhun ya kalau isinya over narsis.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih ibu.Telah menjadikan murid kesayangan ibu ini terkena uephoria syndrome.Terus lah jadi penulis ibu. Semangat... Hwaiting😊😊😊
ReplyDeleteIyyaa kesayangan ibu❤
DeleteTumbuhlah dengan baik dan bahagia selalu ya anak ibu yang ganteng😳