Wahai hati yang terlampau sensitif.
Tak apa kau marah,
Manusiawi.
Tak apa kau kecewa,
Manusiawi.
Tak apa kau bersedih,
Manusiawi.
Tak apa kau menangis,
Manusiawi.
Bahkan, tak apa kau berhenti,
Manusiawi.
Wahai hati yang memang rapuh.
Aku tau ini sangat tak mudah. Mengingat semua hal yang kau lakukan demi mereka, atas nama Tuhanmu dan profesionalitasmu.
Aku tau kau terluka, untuk semua balasan yang kau dapat yang justru mengiris sukma.
Mungkin kau tak butuh tepuk tangan itu, predikat, atau ucapan terima kasih dari siapapun.
Kau hanya ingin dimengerti dan dipahami bahwa kau bekerja sekeras itu bukan hanya karena kau dibayar.
Kau hanya ingin dimengerti dan dipahami bahwa kau bekerja sekeras itu bukan hanya karena kau dibayar.
Ya kau kerja karena dibayar.
Bukankah semua orang memang bekerja untuk uang?
Munafik bila mereka menyangkalnya.
Bukankah semua orang memang bekerja untuk uang?
Munafik bila mereka menyangkalnya.
Tapi kalaulah hanya uang yang dicari, banyak pekerjaan yang menghasilkan uang lebih berlimpah. Kau bisa mendapatkannya dengan semua kualifikasimu.
Dan kalaulah uang yang kau cari, kau tak perlulah selelah itu bekerja, toh nominalnya tetap sama sekeras apapun kau bekerja.
Kenapa tidak santai saja?
Kenapa tidak santai saja?
Tidak sayang, kau tidak bekerja hanya demi uang.
Kau bekerja lebih dari itu.
Demi Allah, bahwa kau bersungguh sungguh dalam pekerjaanmu.
Demi profesionalitasmu.
Dan demi mereka, kau ingin mereka lebih baik.
Demi profesionalitasmu.
Dan demi mereka, kau ingin mereka lebih baik.
Wahai hati yang kini berdarah.
Di saat kau kecewa dan berusaha meredakan semuanya. Di saat kau menarik napas dan berusaha berpikir jernih. Di saat kau bertindak selayaknya orang dewasa.
Justru kalimat itu terdengar di telingamu. Tidakkah itu menyakitkan, Sayang?
Kenapa justru mereka memperkeruh hati yang sudah keruh?
Andai kau mampu menahan tangismu, andai kau bisa setegar karang, kau ingin bertatap muka dengan mereka dan bertanya. Namun, air matamu tak tertahankan. Berlinang seolah tak paham apa maumu. Menghancurkan imejmu dalam sekejap mata.
Kau kuat, kau hebat, kau dingin.
Tapi demi setetes air mata itu mengalir di pipi, rasanya hancur sudah benteng kokoh yang kau bangun selama ini. Ambruk semua pondasinya.
Wahai hati yang biru.
Tuhanmu ingin kau bangkit dan meluruskan niatmu.
Apakah sungguh kerja keras ini demiNya? Atau demi namamu yang tak ada artinya?
Apakah sungguh kerja keras ini demiNya? Atau demi namamu yang tak ada artinya?
Bukankah seni paling menakjubkan adalah seni ikhlas?
Kenapa dengan sebuah kalimat itu kau jatuh, Sayang?
Ikhlas. Kau tak perlu berucap apapun pada siapapun. Kau tak perlu berkeluh kesah tentang apapun. Kau tak perlu utarakan semua apa yang menyesaki dadamu.
Biarlah semua jatuh dalam air matamu pada tiap sujudmu.
Kau harus belajar ikhlas. Ikhlas.
Wahai hati yang kuat.
Kuatlah.
Hei hati. Ku pikir tak apa bila kau menanyakannya.
Kau boleh bertanya pada mereka setelah semua peristiwa ini. Asal berjanjilah padaku satu hal!
Kau boleh bertanya pada mereka setelah semua peristiwa ini. Asal berjanjilah padaku satu hal!
Suaramu tak boleh gemetar, matamu tak boleh berkaca kaca, apalagi sampai air matamu tumpah ruah di hadapan mereka. Selama kau bisa berjanji, maka silakan kau bertanya pada mereka.
😭
ReplyDelete:p
Delete