Tidak produk Y*ungliving saja yang memiliki Forgiveness. Manusia juga mesti memilikinya.
"Sudut pandang" dalam seni memaafkan itu menarik.
Bagaimana kita memposisikan diri sebagai si pembuat masalah, bagaimana kita memahami isi pikirannya.
Barangkali dengan mengubah sedikit sudut pandang kita, kita jadi bisa lebih berlapang dada menyikapi khilafnya.
Bila setiap manusia kita anggap "baik", maka sebab ia melakukan kesalahan bukan berarti karena ia tidak baik, tapi belum baik.
Bisa jadi dengan kita berusaha melembutkan hati, memaafkan, memberikan ia kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, mungkin satu maaf kita dapat menggiring dan menjadi momentum titik balik hijrahnya? Wallahu'alam.
***
Menjadi guru, lekat sekali dengan masalah.
Tentu anak anak yang belum dewasa itu selalu saja mengira bahwa tiap kesalahannya hanya perlu ditebus dengan permintaan maaf.
Pun orang tua siswa yang sering mengedepankan emosi dan harga dirinya, tekanan dari para elit penguasa, atau kesalahpahaman kecil antarrekan kerja yang berebut beban di pundak. Membuat hati terus sesak ingin berontak.
Memaafkan adalah perkara yang sulit bagi aku si keras kepala. Apalagi sayatan demi sayatan di hati yang belum kering, tapi mesti dianggap sembuh dengan menyunggingkan senyum tulus di wajah. Tak elok bila menyimpan dendam katanya, padahal hatiku tercabik tanpa ampun sebelumnya.
Hanya saja, ribuan kejadian serta usaha untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik mulai berbuah manis.
Aku belajar legowo dan ikhlas di tiap terjalnya hidupku.
Karena tidak ada satu keburukan pun yang bisa terjadi padaku tanpa seijinNya. Maka aku menganggap semua ini adalah suratan takdir yang harus disikapi dengan bijak.
Jelas tidak mudah. Tapi tidak mustahil diwujudkan.
Belajar memaafkan adalah sebuah perjalanan tanpa ujung. Namun, terus membaca dan meneladani kisah penuh hikmah para alim ulama menjadi teman perjalanan yang baik.
Ps: sambil menghirup aroma harum pengantar tidur. Reward untuk jiwa dan raga yang lelah bekerja setiap harinya.
Comments
Post a Comment