Ada sebuah rumah kecil di tengah hutan.
Rumah yang kamu bangun sendiri, kamu kumpulkan kayu, kamu rangkai, hingga menjadi tempat berteduhmu.
Rumahnya memang tak mewah, justru kecil dan sempit.
Tapi kamu berlindung di sana, dari hujan dan matahari. Kadang terlalu dingin di malam hari, dan terlalu panas di siang hari.
Tapi tak apa. Rumah itu bukan hasil curang. Kamu dirikan dengan keringat dan air mata.
Kalau ada yang bertanya apa mimpimu, jelas membuat rumah lebih lapang dan layak adalah jawabnya. Namun, itu hanya mimpi. Kamu bahkan seringkali kebingungan di saat persediaan kayu bakarmu habis. Sehingga seringkali kayu yang tersusun rapi di ranjangmu kamu bakar, demi membuat rumah menjadi hangat.
***
Kamu tidak sendirian di rumah itu, kadang ada burung kecil yang bertengger di atap. Kamu menjumput sedikit biji bijian dan memberikannya.
Kadang, ada seekor bayi beruang yang tersesat tengah mencakar pintu, kamu rela membagi dua apelmu, bagian paling besar kamu angsurkan padanya.
Bahkan tak jarang serigala ikut berteduh di bawah atapmu, hingga esok harinya, kamu mengumpulkan kayu dan melebarkan atapmu, agar lebih teduh.
Rumah mungil itu sedikit banyak telah menjadi harap bagi keberlangsungan hidup makhluk lain.
***
Tiba tiba, ada sekumpulan orang orang jahat. Pembalak liar. Menodongkan senjatanya padamu. Mereka menerobos masuk dan menjarah semuanya.
Mereka memberikan negosiasi tak masuk akal padamu.
Pilih saja. Keluar dari rumah ini, atau bertarung melawan kami. Itu juga kalau kamu mampu! Katanya bengis.
***
Kamu menggigiti kuku...
Dan memilih untuk bertarung melawan mereka. Karena memilih untuk keluar dari rumahmu sendiri adalah pilihan yang menyakitkan.
Sejujurnya, bertarung pun terasa omong kosong.
Bagaimana bisa tangan kecil ini melawan hujaman timah panas?
Tapi "menyerah" adalah langkah pengecut, dan kamu bukan pengecut.
***
Perang pertama.
Kamu terkapar. Tanganmu berlumuran darah, kamu tertawa dan berusaha bangkit. Mencari kain kasa, mengikatnya sendiri.
Kamu bersembunyi di belakang lemari. Sementara mereka kembali duduk sambil memakan persediaan roti gandum milikmu. Memberimu kesempatan untuk memulihkan tenaga guna perang esok hari.
Senyap.
Ada sebuah ketukan perlahan dari balik jendela memecah kesunyian. Beruang kecil itu kembali sambil meminta makan. Kamu tak sampai hati menolak, walau perutmu sama laparnya. Kamu membagi remah roti gandum yang terjatuh di lantai.
***
Malam tiba. Angin berhembus masuk lewat celah dinding yang tak rapat.
Suara dengkuran para pencuri keparat itu menggema memenuhi rumahmu.
Kamu sibuk memikirkan strategi perang esok hari.
Hingga tanganmu berdenyut kesakitan. Kain kasanya sudah bersimbah darah. Lukanya terbuka lagi.
Kamu kemudian menyadari, bahwa itu terlalu menyakitkan. Kamu menangis ditemani diamnya sang malam.
Ternyata kamu lemah, Nak. Ternyata kamu terluka.
Kamu ingin bertanya, kenapa kamu terusir dari rumahmu sendiri, kenapa kamu harus memilih untuk keluar atau bertarung? Kenapa kamu harus terluka memperebutkan milikmu sendiri?
Kenapa kamu, Nak... Harus melalui semua ini?
Kenapa penjahat penjahat itu merampas sesuatu yang menjadi tempat berteduhmu? Kenapa kini kamu yang menangis dan mereka yang terlelap?
Kamu pun bertahan tak hanya demi dirimu sendiri, bukan?
Kamu bertahan karena banyak hati turut bergantung padamu. Kamu pun berperang melawan ketidakadilan ini, karena kamu tidak ingin burung, beruang, atau serigala itu kebingungan kan?
***
Selama ini perjuanganmu mengokohkan rumah terasa bagai menguras air laut. Kini, malahan menggenggam kenop pintumu pun, kamu tak punya kuasa.
Tangismu makin deras, kamu mengatupkan bibir, takut suaranya terdengar. Sembari luka di tanganmu terus mengucurkan darah segar.
Kamu mulai tidak kuasa menahan kantuk. Entah karena darahmu yang hampir habis, atau kelopak matamu yang semakin bengkak.
***
Tak apa, Nak. Tuhanmu tidak tidur.
Keadilan di bumi ini selalu tegak, walau caranya mungkin tak kamu pahami.
💔
Tertanda,
Seorang guru yang nyaris terusir dari pekerjaannya berkat program berlabel kesejahteraan.
Comments
Post a Comment