Figur panutan yang membebani
Ekspektasi yang terlalu tinggi
Luka dan kecewa yang dilindungi oleh perisai seadanya
Keinginan untuk diterima dengan baik
Tindakan menyakitkan yang minta untuk dimengerti
Berjalan tanpa dukungan yang layak
Mengurai benang yang kusut
Meluruskan ranting rapuh
Setiap hari setiap waktu, menjalani hari tanpa bekal yang cukup
Mereka sekumpulan manusia yang terus belajar
Yang dalam diamnya menyimpan kekaguman
Yang dalam diamnya pula menyimpan kesedihan
Yang menenggak semua kepahitan dengan perasaan takut dan khawatir
Yang berjalan tegap dalam keramaian namun tertatih dalam sepi
Ialah gurumu
***
25 November seperti biasa, nano-nano rasanya.
Beberapa hari sebelumnya sudah insecure, terlebih menemukan lembaran voting nominasi guru ini itu.
***
Pagi itu upacara peringatan hari guru, kali ini guru gurunya yang menjadi petugas upacara. Lucu dan mendebarkan.
Tapi semua tampil keren dan jumawa. Pantaslah menjadi panutan siswa siswinya.
Tapi hatiku abu abu.
Penuh haru biru, apalagi saat lagu hymne guru terdengar.
Aku menahan tangis.
Entah menahan tangis karena aku ingat diriku yang dahulu, yang belum sempurna memuliakan guru guruku...atau menahan tangis karena belum bisa menjadi sepantasnya guru seperti sosok di lagu tersebut.
***
Hari guru tahun lalu aku memperingatinya dengan menulis, guna menghibur rekan rekanku. Hari guru tahun ini aku gunakan kesempatan untuk introspeksi diri.
Tapi sebenarnya jauh sebelum hari ini, yakni sejak awal tahun ajaran baru tepatnya, aku mengawali langkahku menjadi guru yang sedikit berbeda.
Aku banyak bermuhasabah, banyak mengoreksi segala kekuranganku.
Banyak pula mengafirmasi diriku dengan hal hal baik. Hinga ku buka tahun ini dengan menjadi diriku yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Tentu menjadi diriku yang lebih baik (versiku).
Berusaha menjadi lebih sabar, legowo, lapang dada... Berusaha bersyukur terhadap hal kecil, berusaha memaklumi hal yang tidak terduga di kelas, berusaha lebih dan lebih memahami posisi anak anak sebagai siswa.
Hanya saja sisa sisa diriku yang sebelumnya jelas masih melekat dalam ingatan siswa lain.
Tapi seperti lagunya Tegar, "aku yang dulu bukanlah yang sekarang", aku yakin menjadi hal yang wajar bila siswa masih mengingat aku sebagai guru yang 'dahulu'. Tapi tidak masalah, yang penting aku sudah sedikit demi sedikit mulai bertransformasi.
Aku yang tadinya strict, mungkin kini melunak.
Aku yang kerap membatin, kini lebih berusaha mendoakan.
Aku yang idealis, kini lebih realistis.
Dan sederet perubahan kecil lainnya.
Tak apa, Mukti...
Kamu terus belajar menjadi lebih baik di tiap harinya adalah sebuah kemajuan.
Bahkan kamu menyadari segala kurangmu dan berusaha untuk memperbaikinya pun sudah sangat luar biasa.
You really did a good job :')
***
Kamis kemarin, ada siswa yang melakukan wawancara padaku,
Pertanyaan terakhirnya membuatku tertegun sebentar.
Apa motivasi ibu dalam mengajar siswa?
Pertanyaan ini jelas pernah ku tanyakan pada diriku.
Maka dengan pelan ku jawab, amar makruf nahi munkar.
Tapi jawaban itu seolah divalidasi oleh Allah. Sungguhkah itu motivasiku? Apa hanya retorika belaka?
Maka penghargaan jumat pagi yang nyatanya membuatku sedih adalah, aku dinobatkan sebagai guru Paling Peduli Menegakkan Tata Tertib.
Agak aneh memang karena hatiku sedih mendapat predikat itu.
Lebih aneh lagi ternyata kesedihan itu menghinggapi sepanjang hari. Membuatku agak sesak.
Hingga keesokan harinya, ketika aku mengambil wudhu, kilasan balik tentang interaksiku pada siswa muncul di ingatan. Bagaimana aku yang sering mengingatkan siswa untuk berpakaian rapi, menegur mereka yang ribut atau kelasnya berantakan, mengomentari seragamnya yang ajaib, dan sebagainya.
Kemudian aku diingatkan pada motivasi yang ku ucapkan itu, Allah seperti mengatakan padaku bahwa ya begitulah kalau amar makruf nahi munkar.
Bahwa aku (tanpa ku sadari) telah menjelma menjadi si Paling Berisik pada Tata Tertib. Sebab memang itu yang selama ini ku lakukan. Walau semua guru pun seperti itu tentunya, tapi memang guru yang paling membuat siswa kesal (mungkin) yang paling mereka ingat.
Tapi kan tak mengapa, Mukti?
Bukankah kamu telah melakukan hal yang benar?
Bukankah memang selayaknya sebagai seorang muslim ketika melihat suatu kemunkaran wajib mengubahnya dengan perbuatan? Atau bila tak mampu, maka diubah dengan lisan? Dan serendah rendahnya iman adalah mengingkarinya dalam batinmu?
Memang ada harga yang harus dibayar untuk penegakkan amar makruf nahi munkar, yaitu tatapan takut-kesal-marah siswa. Tapi kalau memang yang dicari adalah ridho Allah. Maka bersabarlah, Mukti :')
Dan semua obrolan absurd tadi akhirnya membuatku menerima.
Lagi pula di dalam map penghargaan tadi ada uang jajannya, lumayan. Masa mau ditolak?
***
Anyway, tulisan ini tidak ditujukan untuk siapapun selain aku,
Tulisan instrospeksi dan penguat diriku.
Tapi mungkin saja ada siswaku yang nyasar disini, ya tak apa. Semoga tulisan ini tidak mengurangi 'kredibilitas guru'ku.
***
And here I am...
Manusia tidak sempurna yang terus bertumbuh.
Guru yang ribuan kali ingin menyerah, tapi akhirnya tetap melangkah.
Guru yang hatinya sangat rapuh, namun mengenakan mantel bernama tangguh.
Sebab guru hanyalah manusia biasa,
Tak akan kamu temukan kesempurnaan yang kamu idamkan ada padanya.
Tak bisa jua menuntut mereka selalu tampil paripurna.
Tapi semoga ketidaksempurnaan itu tidak serta merta membuat lisanmu mencela,
Menjadikan mereka objek leluconmu,
Atau bahan ghibahan yang tak enak didengar.
Justru semoga dengan semua ketidaksempurnaan itu membuatmu juga belajar bersabar, sebagaimana mereka bersabar terhadap kurangmu.
Membuatmu maklum, sebagaimana maklum mereka padamu.
Membuatmu ringan mendoakan kebaikan pada mereka, seperti mereka yang juga mendoakanmu.
Selamat hari guru💜
Ps: ditulisnya tanggal 25, baru kelar hari ini.
Comments
Post a Comment